(Qurrata Akyuni/MAS KMI Diniyyah Puteri)

Surya merah telah kembali keperaduannya. Kumandang azan pertanda waktu Maghrib terdengar saling bersahutan. Hingga angin lembut pun serasa menusuk siapapun yang masih berkelana diluar rumah.

“Gubrakk..” Dentuman keras pintu mengadu dinding. Tampak sosok bapak berdiri lengkap dengan wajah sangarnya.

“Naura... Naura... dimana ibumu?” teriak bapak dari pintu. Namun tidak ada jawaban. Segera bapak berlalu mencari ke seluruh sudut rumah. Setelah 5 kali putaran jarum jam dinding yang membisu, akhirnya tersimpul senyuman licik, khas bapak. Langsung ditujunya sebuah kamar yang selalu dijadikan tempat persembunyian sipemilik rumah.

“Pasti kalian ada didalam. Cepat buka pintunya!” teriak bapak yang sudah tau pasti pintu itu terkunci. Lagi-lagi tak terdengar sahutan. Secepat kilat, pintu itu sudah rata dengan lantai.

“Sudah kuduga kalian disini.” Tatapan tajam bapak mengarah pada kami, tiga orang yang tengah tersungkur dengan berbalut telekung.

Rasanya tidak ada orang sepekak ini. Perlukahmik dari balai desa sana kuangkut!?” lanjut bapak. Kali ini bukanlah jawaban yang memuaskan hati yang didapatnya. Tapi tangisan piluyang kian menjadi-jadi, yang akan membuat iba siapapun yang mendengarnya. Namun bagaikan baja, hati bapak tak tersentuh sedikitpun.

Seketika Sofia melepaskan dekapan erat ibu. Dia berlari menuju bapak, “Bapak... bapak... kok bapak jahat sama pintu?” rengek Sofia, adikku dengan polosnya.“Pintu kan gak pernah ganggu bapak. Terus bapak juga jahat sama ibu,sama kakak,sama Sofia juga. Bapak jahat!” lanjut Sofia dengan tangisan sambil melayangkan tangan mungilnya kepada bapak.

Belum selesai Sofia mengelap ingusnyayang keluar, tangan bapak pun melayang hingga Sofia terseret meskipun tidak terlalu jauh. Melihat itu, ibu langsung berlari dan memeluk dengan kasih sayangnya.

“Astagfirullah, pak! Nyebut, pak.Nyebut. Ini Sofia anakmu.” Tak henti-hentinya ibu mengelus kepala Sofia yang tadi terbentur.

“Halah, ndak usah berlebihan. Itulah kau, anak terlalu dimanja.” Omongan ngawur bapak tak berhenti memekakkan telinga.“Baru jatuhsedikit saja, nangis seperti ada kematian.”

Ibu yang masih sibuk dengan Sofia tiba-tiba ditarik bapak hingga Sofia terjatuh untuk kedua kalinya. Lagi-lagi tenaga ibu terlampau lemah untuk memberontak tarikan itu. Ibu diperlakukan seakan tak bernyawa. Hingga mereka berhenti di teras rumah.

“Lihat itu! Si Ceker mampus gara-gara kau!” bentak bapak sambil menunjukkan ayam sabungan kesayangannya.Tangannya sudah melekat di telekung ibu, siap untuk menjambak. “Makanya turuti kata suami! Dasar istri ndaktau diri!”. Kalimat demi kalimat terlontar diikuti jambakan. Rambut yang tersembunyi sudah menampakkan diri. Telekung sedari akad nikah mereka dulu, robek untuk kesekian kalinya.

“Bapak, cukup!” teriakku dari belakang. Sofia hanya mampu bertekuk dibalikku. “Naura bersumpah, Naura menyesal pernah punya bapak!” Mukaku memerah dihujani butiran air mata. Kalimat itu terucap sangat sempurna. Tampak jelas aku telah lama memendamnya. Kini semua terungkap tanpa rasa takut akan pukulan yang pasti menghantamku.

***

Mentari tersenyum indah. Rumah yang berlautkan tangisan pun ikut merasakan kehangatannya. Muka lebamku tampak jelas dalam pantulan cermin. Jilbab putih yang menyibukkanku setiap pagi telah membuatku lupa akan drama rutin tadi malam.

“Kakak..., Kakak.... Ibu sudah nunggu di bawah!” teriak Sofia menandakan sudah saatnya berangkat ke sekolah.

“Iya, bentar lagi kakak turun.” Segera kumasukkan tumpukan kertas diatas kasur. Aku langsung berlari menuruni tangga papan rumahku yang berhubungan dengan sebuah ruang sederhana yang kami sebut ruang tamu. Seperti biasa, terdengar dengkuran dari atas kursi kayu panjang yang telah dilapisi ibu dengan kasur. Suara yang akan menghiasi rumah kamihingga pulang sekolah nanti.

“Belajar yang rajin, nak,” kata ibu sambil memelukku. Lambaian tangan Sofia terus berkibar saat motor yang dikendarai ibu makin jauh pergi meninggalkanku yang masih terpaku didepan gerbang. Aku menghela nafas panjang, “Huhhhh, semangat Naura!”.

Aku berjalan menuju kelasku sambil menempelkan kertas-kertas di setiap sudut. Aku tersenyum lega setelah tumpukan kertas yang sudah lama kupersiapkan itu ludes tertempel.

Tiba-tiba sekelompok lelaki menghampiriku sambil tertawa-tawa. Kertas yang telah tertempel itu mereka baca, “Pilih Naura Dinda Fresa sebagai calon ketua OSIS angkatan 28. Visi dan mi....” Belum tuntas semua terbaca, “Stoooppp!

“Hahaaa yakin mau nyalon jadi ketos?” cemooh salah satu dari mereka.

“Syaratnya banyak lho, salah satunya orangtua harus bekerja dengan halal!” sahut yang lain disertai gemuruh tawa yang tak kunjung henti.

Aku tertunduk lesu. Tak kuasa menjawab sepatah katapun dan berlari menjauh.

Setibanya di kelas,nafasku tak beraturan.Aku mencoba membuka pintu, ternyata terkunci. Jantungku kembali berdetak hebat melihat tulisan tinta merah tertempel di daun pintu, “Anak Penjudi Dilarang Masuk!”. Bak petir menyambar, tubuhku terkulai lemah menyandar pada dinding. Bayangan bisu masa lalu kembali menghantui. Hingga aku tak berdaya menghadapinya, “Ya Allah sehina inikah hidupku”. Runtuh sudah pertahanan, air mata menerobos hingga tak terbendung.

“Hai, guys! Hari ini aku ultah. Kalian boleh makan sepuasnya, aku yang bayar,” tawarku pada temanku dengan wajah ceria. Namun semua hanya terdiam, tak ada yang peduli. “Ayolah ambil, mumpung aku lagi baik lho,” lanjutku dengan senyuman yang semakin menggoda. Aku mendekat. Kugapai tangan seorang temanku untuk menuju kantin.

Belum selangkah, mereka berlari, “Woy sadar diri dong! teriak salah satu dari mereka.

Lopikir kita mau makan uangharam. Hasil nyabung ayam, hasil judi gituan hah!?” sambut lainnya dengan bentakan menghina.

Aku pulang dengan marah. Langsung kutuju dapur. Bolak-balik tak menentu dengan kepalan tangan hendak meninju. Dan akhirnya dapat. Pisau. Tanpa pikir panjang, aku mengendus-ngendus mencari bapak. Seperti biasa bapakmasih terlelap di kursi itu. Bola matanya memerah seakan dikendalikan makhluk halus. Dengan kencangnya aku berlari menuju kandang ceker dan memotongnya sadis.

“Naura. Naura. Bangun, nak! Kok tidur di depan pintu?

Aku terkejut seketika sudah ada bu Ida yang menatapku kasihan. Dielus-elusnya pundakku dengan lembut. “Naura kenapa, nak? Ayo masuk. Lihat teman-temanmu sudah duduk rapi,”ujarnya sambil menunjukkan seisi kelas yang tengah menatapku dengan anehnya. Meskipun rombongan lelaki tadi tertawa terbahak-bahak di kursi bagian belakang.

***

Rindang pohon menyapu jilbabku ditambah angin sepoi yang begitu memanjakan. Pikiranku kembali segar sembari menikmati sebekal seurabiyang kubeli di kantin tadi. Tiba-tiba dari pengeras suara yang tersebar di sekolah, “Panggilan kepada Naura Dinda Fresa, silahkan ke ruang kepala sekolah saat ini.”

Aku tak mengerti kenapa namaku dipanggil. Aku tak beranjak sedikitpun. Aku bertanya dalam hati,“Kalau dipanggil ke ruang kepala sekolah, ini pasti masalah penting.” Kemudian namaku dipanggil untuk kedua kalinya. Aku segera berlari menuju ruang kepala sekolah.

Di tengah perjalanan, aku berhenti. Kulihat darikejauhan bapak marah-marah sambil memeluk cekerdi ruang kepala sekolah. Terlihat pula 2 orang polisi mengawalnya.Hampir seisi sekolah bergerombol mengelilingi bapak. Tak terkecuali ada yang melemparinya dengan daun kering yang berjatuhan dari pohon kecil di sekitar ruangan itu.

Aku tak tau harus berbuat apa. Tiba-tiba bapak melihatku dan langsung berlari menghampiriku. Semua yang menyaksikan itu segera berhamburan menuju tempatku terpaku seorang diri.

“Hei,Naura. Mana ibumu? Udah tua, gak berguna lagi.” Bapak berteriak sambil meronta-ronta berusaha melepaskan diri dari cengkraman polisi. “Uang sudah habis. Belum makan. Belum bayar hutang.” Suara bapak melemah. Tiba-tiba terjatuh dan tak sadarkan diri.

Aku semakin bingung. Bu Ida, wali kelasku memelukku erat. Aku diajak masuk ke ruang kepala sekolah. Aku diperlakukan sangat baik, berbeda dari biasanya. Diberi minum dan disuruh istirahat. Tapi aku menolak.

“Bu, ada apa ini? Kenapa bapakku dibawa polisi?” Aku bertanya sangat ketus, seakan-akan bapakku tak pernah bersalah.

Bukannya jawaban yang kudapat, tapi malah tangisan pilu bu Ida terdengar. Seketika aku teringat sesuatu, “Dimana ibuku?” Kali ini aku beteriak sambil melepaskan genggaman bu Ida.Aku ingin segera berlari, namun ditahan.“Bu, jawab, dimana ibuku!?”Kumemaksa tanpa henti hingga bu Ida menatap iba.

Pundakku dicengkram sangat erat, “Nak, tenang! Jangan biarkan jiwamu dikuasai emosi!” Bu Ida setengah berteriak menenangkan. Setelah keadaan mereda, bu Ida mengajakku untuk pulang.

Sesampainya di gang kecil menuju rumahku, mobil diparkirkan. Kami melanjutkannya dengan berjalan kaki. Anehnya didepan gang ada bendera kuning tertancap di atas kandang ayam. Perasaanku mulai memburuk. Aku segera berlari.

Benar saja, rumahku tampak sesak. Dari kejauhan, terlihat nenek merangkul Sofia menangis di hadapan sosok yang tertutup kain. Aku terdiam. Tubuhku seakan beku. Kakiku tak tau harus melangkah kemana. Bersama bu Ida, aku memasuki rumah. Orang-orang menatapku dengan pilu.

“Ibuuu. Ibu kenapa? Ibuuu.” Aku menangis tersedu-sedu. Ditambah Sofia menjerit meski suaranya telah parau.

“Sudahlah..Ikhlaskan ibumu,” titah nenek menenangkan kami. “Ibumu orang baik. Tuhan sangat menyayanginya.” Suasana semakin mengharu biru. Tangisan terdengar dari setiap penjuru rumah.“Memang inilah cara Tuhan.Ibumu dipanggil secepat ini.” Nenek terlihat tegar, meskipun kutau dia juga sangat sedih karena telah kehilangan anaknya.

Tangisanku kian menjadi-jadi.

“Naura,sudahlah, nak. Ibu tau kamu mampu tegar. Lihat adikmu, dia yang belum mengerti apa-apa pun ikut menangis melihat kesedihanmu.”

Kulirik Sofia dengan mata berkaca-kaca. Baru kusadari, bukan aku saja yang harus menderita tanpa ibu. Tapi juga Sofia.Dengan cepat kugapai tubuhnya, langsung kudekap hangat.

Semua yang hadir tak kuasa menopang beban kesedihan kala itu. Namun diantara riuhnya suara tangisan, terdengar bisikan halus akan keburukan bapakku selama ini. Bapakku penyabung ayam. Ya, memang benar. Bapakku seorang penjudi. Ya, aku tau itu. Bapakku seorang pembunuh. Apa maksudnya ini?

Akhirnya ibuku dimandikan, aku turut menyiraminya. Ibu diusung menuju masjid untuk disholatkan, aku berada di barisan depan. Tangisanku bergema di sepanjang jalan menuju pemakaman. Aku menyaksikan ibu kembali ditelan tanah. Seketika tubuhku rebah diatas pusara ibu.