DSC 0417

 

(Zulfikri, S.Th.I., M.Hum)

 

Sudah menjadi suatu kewajaran dan keniscayaan mendasar bila manusia hidup secara bersosialisasi. Suatu pemikiran, mazhab, atau kelompk dapat terbentuk dengan sempurna apabila disokong oleh sekian banyak individu-individu. Bukan hanya dalam fenomena keberagamaan saja, tetapi Indonesia mencapai kemerdekaanya diperjuangkan oleh rakyat yang berasal dari individu yang majemuk dari berbagai aspek, baik itu kultur, keyakinan, dan ras. Fenomena kemajemukan ini sebenarnya menjadi persoalan penting apabila tidak diatur/manage dengan baik, bijaksana dan sesuai dengan kearifan lokal. Mengenai problem ini, diantara ayat yang menyinggung persoalan kebe-ragam-an ini terdapat dalam Q.S. al-An’am [6] 108 :

 

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al-‘An’am [6] ; 108)

 

  1. Asbab An-Nuzul

 

Dalam riwayat Ibn Abbas, para kafir quraisy mengadu kepada Abi Thalib untuk melarang Nabi Muhammad dan para shahabatnya supaya tidak menghina dan merendahankan Tuhan mereka. Maka setelah itu duturunkanlah QS. Al-An’am : 108.[1]

 

  1. Ma’na Global Ayat

 

Allah SWT. Melarang kaum muslimin untuk memaki, mencela berhala yang disembah kaum musyrikin. Hal ini dumaksudkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, yaitu hal sebaliknya memaki-maki Allah SWT. Yang melampui batas dari orang-orang musyrikin. Karena mereka adalah orang-orang yang tidak mengetahui sifat-sifat Allah SWT. Dan sebutan-sebutan yang seharusnya diucapakan untuk-Nya. Maka bisa terjadi mereka memakin Allah dengan kata yang menyebabkan kemarahan orang-orang mukmin.

 

Dari ayat ini, dapat diambil pengertian bahwa apabila suatu perbuatan dipergunakan untuk terwujudnya perbuatan lain yang bersifat maksiat, maka seharusnya ditinggalkan, dan segala perbuatan yang mengakibatkan akibat buruk maka perbuatan tersebut dilarang. Ayat ini juga memberikan isyarat adanya larangan bai kaum muslimin bahawa tidak boleh melakukan sesuatu yang menyebabkan orang kafir semakin menjauhi kebenaran.[2]

 

  1. Dari Praksis (Teks) ke Praktis (Kontekstual)

 

Frase pertama (wa laa tasubbu al-ladzina yad’uuna min duni Allah) merupakan sebuah frase larangan (fi’il nahi). Yakni larangan untuk memaki Tuhan-tuhan orang musyrik (berhala). Larangan disini, adalah larangan atas segala bentuk penghinaan terhadap (sistem) peribadatan dan ketuhananan dari orang-orang musyrik.[3] Kemudian pada frase kedua (fayasubbu Allaha) merupakan jawaban (larangan) dengan penjelasan bahwa hal tersebut (memaki berhala) justru akan semakin membuat orang kafir berpaling (dari kebenaran) dan semakin bertambah kekafirannya. [4]

 

Kemudian hal ini juga dikarenakan memaki-maki berhala sebenarnya adalah memaki benda mati. Oleh sebab itu, memakin berhala itu sebenarnya tidak dosa. Akan tetapi perbuatan tersebut menyebabkan orang-orang musyrik mereka tersinggung dan marah, yang akhirnya mereka akan membalas dengan memaki-maki Allah, maka dilaranglah perbuatan tersebut.[5]

 

Ayat di atas mengisyaratkan bahwa dalam bermasyarakat, harus ada sebuah bangunan kesadaran akan penghargaan terhadap sebuah perbedaan. Baik itu budaya, suku, ras, dan khususnya agama yang sering kali dijadikan alibi untuk melegitimasi anarkisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga pada tataran praktisnya, dapat tercipta dan menampilakm sebuah bermasyarakat yang ber-Islam secara egaliter, demokratis, dan inklusif.

 

Dengan demikian, tidak akan terjadi lagi adanya truth claim (kebenaran pendapat) yang itu di tunggangi oleh samacam ideologi untuk menjatuhkan masyarakat muslim tertentu, atau paling tidak meminimalisir hal itu dalam bermasyarakat. Karena secara filosofis-historis dalam rekaman sejarah Islam, meniscayakan adanya konsep pluralitas agama (kendati konsep ini ada yang membolehkan dan tidak). Terlepas dari itu Rasullullah Saw telah menampilkan bagaimana cara menampilkan akhlak yang bijaksana bila bermasyarakat dengan yang tidak sekeyakinan dengan kita.

 

Senada dengan hal tersebut di atas, dijelaskan juga bahwa Allah Swt menjadikan setiap umat mempunyai ukuran tersendiri terhadap sebuah kebenaran, yang memang bersifat ikhtiari. Yang dapat terlahir dari sebuah kebiasaan (adat-istiadat) yang turun temurun[6], kesepakatan bersama atau dalam bahasa Cak Nur adalah Commom Platform, yakni adanya titik temu antara satu agama dengan agama lainnya.[7] Dengan kata lain adanya semangat yang sama dari masing-masing agama untuk menciptakan kondisi bermasyarakat yang harmonis, damai, rukun, dinamis tanpa kegaduhan, sejauh tidak ikut mencampuri wilayah-wilayah yang mendasar dalam agama Islam.

 

Pada sisi yang lain, Allah telah memberikan naluri pada diri manusia untuk menilai suatu perbuatan, apakah termasuk perbuatan baik atau buruk. Dan dengan ajaran para Rasul Saw, naluri tersebut akan lebih terarah. Sehingga dapat menilai perbuatan serta kebiasaan itu dengan penilaian yang benar.[8] Wallahu ‘alam bi shawwab

 


 

Al-Qurthubi, al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an. Beirut : Dar al-kutub al-‘Ilmiah.1993.hlm 41Lihat juga. DEPAG RA, Al-Qur’an dan tafsirnya. Bandingkan dengan : K.H.Q. Shaleh. H.A.A. Dahlan, dkk. Asbabun Nuzul (Latar belakang historis turunya Ayat-ayat al-Quran).

DEPAG RI, Al-Qur’an dan tafsirnya. Yogyakarta : UII press. Hlm 240

Al-Alusi, Ruh al-Ma’ani fi tafsir al-qur’an wa sab’u al-matsani. Beirut : Dar Ihya’ at-Turats. Juz VII hlm 251

Al-Qurthubi, al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an. Beirut : Dar al-kutub al-‘Ilmiah.1993.hlm 41

DEPAG RI, op. cit. Hlm 242

DEPAG RI, op. cit. Hlm 242

Sukidi. op. cit. Hlm 17

DEPAG RI, op. cit. Hlm 242