DSC 0354

Nagari Pandai Sikek adalah tempat bercengkramanya pengrajin songket. Jangan heran ketika kita mengunjungi Pandai Sikek, terlihat palanta (alat untuk menenun songket) ada di rumah-rumah kecil penduduknya. Adalah suatu upaya menjaga kelestarian budaya, ketika ibu-ibu di sana yang memiliki anak gadis mengajarkan bagaimana cara menenun. Buktinya teman-temanku pada bisa bertenun, walau hanya sebahagian saja.

            Seharusnya, beginilah kita dalam menghadapi pesatnya pertumbuhan teknologi zaman sekarang ini. Sangat sedih sekali ketika kita berpikiran “apolah tu batanun, karajo inyiak inyiak mah!” Jangan salah ya, malahan merekalah yang patut diberikan penghargaan yang besar karena mereka mau melestarikan budaya tenunan songket. Itulah salah satu bentuk cinta negerinya orang Pandai Sikek. Karena di saat semua orang sibuk di depan layar komputer dan tenggelam di dunia maya yang tak jelas keberadaannya, mereka sibuk dengan hitungan-hitungan motif berseni tinggi diiringi irama khas lapak palantanya. Sangat jauh berbeda ketika kita bandingkan dengan penggila dunia maya, seorang penenun dituntut untuk lebih teliti karena harus peka dengan keadaaan benang tenunan mereka.

Bayangkan saja, saat benang yang susunannya rumit tapi rapi itu putus, butuh mata yang sangatlah jeli untuk menyambungkannya kembali. Itulah makna filosopi dari tenun, semakin tinggi tingkat kemahiran mereka semakin tinggi pula tingkat kejelian matanya. Masih banyak lagi filosopi yang tersembunyi di balik seorang penenun songket.

tenun

Dalam masa liburan, aku pun belajar bagaimana cara menenun. Ibuku sedang di atas palanta tenun ketika aku merengek minta di ajari bagaimana cara menenun. Aku merasa sedikit berbeda dengan teman-temanku yang dengan mudahnya menenun. Dan mereka pun bisa menyelesaikan tenunan dalam waktu yang sangat cepat. Dua minggu saja sudah selesai. Iri memang, ketika aku berkunjung ke rumah mereka dan mendapati mereka sedang bernostalgia dengan bunyi lapak kain songket.

            Ketika aku bertanya kepada teman-temanku yang sudah bisa bertenun, “Susah nggak bertenun itu?” Mereka menjawab, “Nggak susah kok. Kalau udah bisa, bikin ketagihan!”. Sebenarnya, itulah cikal bakal semangatku dan awal keberanianku untuk meminta diajarkan oleh ibu bagaimana cara menenun. Namun, saat kulihat beberapa contoh kopian motif punya ibu, aduh… pusing melihatnya. Ibu hanya tersenyum melihat ekspesi pasrahku. Sebenarnya aku sedikit ragu akan mencobanya. Tapi, akhirnya aku duduk di palanta tenun ibu dan sedikit mempelajari tentang susunan benang. Ternyata susunan benang tenun itu dibagi dua, ada yang di atas dan ada yang di bawah. Lalu, kenapa harus dibagi dua? Karena pertama-tama untuk membentuk motif, kita akan “mancukie”. Mancukie itu bahasa Minang, kalau bahasa Indonesianya mencongkel tapi dari artian lain ya. Maksud mancukie dalam kegiatannya yaitu sebuah alat (pancukie) yang dipakai untuk mengatur benang sesuai aturan motif yang kita pakai. Pekerjaannya seperti menyulam, tapi, menyulam di antara ribuan helai benang. Nah, yang disinilah akan terbentuk motif yang kita contohkan tadi. Mudah memang, asal mau mempelajarinya.

Dari contoh inilah, saya mengajak sobat semua untuk mencintai Indonesia dengan melestarikan budaya. Ada jutaan pesona Indonesia yang rata-rata masih terpendam dan belum terekspos di media massa. Sebagai seorang pelajar, hendaknya kita memulai membangkitkan bakat-bakat besar yang Indonesia punya seperti yang terjadi sekarang ini! Nyadarnya kalau budaya kita udah diambil sama negeri lain. Kan bisa gawat ceritanya. (Nadia Salami/MA KMI Diniyyah Puteri)