(Qurrata Aini/Santri Diniyyah Puteri)

 

Angin berhembus sepoi-sepoi.  Kami asyik menyantap sate madura ditambah lontong sambil melihat matahari tenggelam dan kapal-kapal yang merapat ke pinggir laut. Makan sehabis berenang memang rasanya enak sekali. Kulirik Tante Nita yang sedang mengangkat HP-nya. Dering tanda panggilan masuk baru saja berbunyi.

“Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun..!” seruan tertahan itu membuat kami semua tersentak kaget. Ibuku menghentikan suapan makannya, begitu pula ayahku. Diikuti kedua sepupuku Sasha dan Yahya, adikku Kikan dan aku. Kami semua memandang ke arah Tante Nita. Siapa yang...?

“Razi.. meninggal habis terapi..” Tante Nita menutup percakapan di handphone-nya dan mengabarkan berita duka itu. Nala yang baru berumur 3 tahun tetap asyik mengambil lontong dengan tangannya yang belepotan bumbu sate.

“Ya Allah..” ibuku memejamkan matanya. Sesuatu berdentam keras di dadaku, nyeri kurasakan mendengar berita itu. Kutatap nanar ketiga saudara-saudaraku, mereka tampak menahan kesedihan juga. Senyap melingkupi kami beberapa saat.

***

            Aku menempelkan pipiku ke jendela mobil. Di sebelahku, Sasha dan Yahya bercerita tentang Razi. Tante Nita dan anak bungsunya Nala duduk di tengah bersama Kikan, ayah dan ibuku di depan. Oh iya, Razi itu omku dari pihak ibu. Nenekku punya 8 saudara, dan adiknya yang paling muda, Kakek Zulfikar adalah orangtua dari Razi. Jadi bisa dibilang dia itu om jauhku.

“Bu, emangnya Om Razi kenapa? Kok bisa tiba-tiba.. meninggal?” suara sepupuku, Sasha, kakaknya Nala.

“Ceritanya sih gini..” Tante Nita bersiap-siap bercerita, ”Razi itu kan.. berapa umurnya? Yah, semuran Zira gitu kan? Nah, si Razi itu sukanya main game online. Sampai kecanduan gitu.. Pulang sekolah, langsung ke warnet. Ntar kalo udah malem banget, hampir dini hari, baru pulang ke rumah. Sarapan juga jarang, langsung pergi sekolah. Pulangnya yaa.. langsung ke warnet lagi!”

“Kok bisa sampai segitunya sih, Bu?” tanya Kikan. Aku hanya ikut mendengarkan. Entah kenapa, aku masih terlalu kaget ketika mendengar berita kematian Razi.

“Yaa.. namanya juga orang kecanduan. Nah, kalo orang udah kayak gitu, pasti ujung-ujungnya sakit juga, kan? Razi akhirnya pingsan di sekolah, mukanya biru semua. Kejang-kejang gitu, tapi nggak panas. Dibawalah ke rumah sakit. Udah dirawat di sana sekitar 1 bulan.. akhirnya...” ibuku menyambung cerita Tante Nita.

“Sakitnya sakit apa?” tanya Yahya, sepupuku yang baru kelas 4 SD.

“Nggak tahu juga, udah diperiksa sana-sini tapi nggak ketahuan penyakitnya. Tahu kan, kalau di warnet kayak gimana? Banyak yang ngerokok, kadang malah ada yang pakai narkoba segala.. Bisa aja Razi kena asap-asap kayak gitu terus-terusan. Capek juga, jarang tidur, makan nggak dikontrol. Ya udah, sakit semua jadinya” jawab ibu.

“Yaa.. apalagi di warnet kan orangnya macem-macem.. ada juga yang menduga kalau Razi kena santet atau semacam itu..” ayah ikut menjelaskan.

“Kasihan ya..” suara Sasha mengecil. Yahya dan Kikan ikut mengangguk-angguk. Nala sudah terlelap di pangkuan ibunya. Aku menghela napas. Kematian memang bisa mendatangi siapa saja, nggak peduli dia tua atau muda.

“Makanya menyukai sesuatu itu jangan berlebihan.. Apalagi menyukai sesuatu yang udah jelas keburukannya” nasehat ayah. Saudara-saudaraku mengangguk berbarengan. Aku masih melamun, memikirkan Razi. Asal tahu saja, dia itu seumuran denganku. Sama-sama kelas 3 SMP, sama-sama 14 tahun. Itulah yang membuatku terdiam lama dari tadi. Gimana kalau yang tadi meninggal itu aku? Apa kamu udah siap, Zir?

            “Ya, assalamualaikum? Halo?” kali ini kudengar ibuku mengangkat HP-nya. Kami semua menunggu. Ada berita apa lagi?

“Oh iya.. alhamdulillah.. selamat ya! Iya, insyaallah kami langsung ke sana, ini lagi di jalan mau balik ke Probolinggo. Mampir ke.. Klinik Sucipto? Iya, iya.. Wassalamualaikum!” kali ini muka ibuku dihiasi senyuman. Segera ibu menutup HP-nya dan menengok ke belakang.

“Mbak Devi barusan melahirkan.. Kalo kita mau ngeliat sekalian ke kliniknya aja.. Kan searah sama Probolinggo?” ibu meminta pendapat ayah. Ayahku mengangguk mengerti. Kami semua tersenyum, tak sabar ingin melihat bayi Mbak Devi. 

“Alhamdulillah.. Devi-nya sehat kan?” tanya Tante Nita.

“Iya, dua-duanya sehat, alhamdulillah..” ibuku kembali mengucap syukur. Mbak Devi itu tanteku dari pihak ibu. Sama kayak Razi, Mbak Devi itu anak dari adik nenekku. Mbak Devi baru menikah sebulan yang lalu.

“Hidup memang nggak bisa ditebak, kan?” ibuku bersuara lagi. Aku meringis mendengarnya.

***

            Aku mengelus-ngelus kepala sang bayi. Mukanya masih memerah, seluruh tubuhnya terbungkus kain putih tebal. Kulihat pancaran kebahagiaan di sekitarku. Mbak Devi berbaring di samping bayinya, menatap bayi perempuan itu penuh kasih. Kedua orangtuaku dan Tante Nita menyalami orangtua Mbak Devi. Saudara-saudaraku ikut tersenyum sambil memegang-megang sang bayi.

“Lucu yaa.. mau lagi deh punya adik, hehehe..” celoteh Yahya. Dia sendiri sudah punya adik laki-laki, umurnya sama kayak Nala. Kami tertawa mendengarnya,”Nanti siapa yang ngurusin Ridwan? Kan kasian Tante Lisa capek ngurusinnya, hehehe..” canda Kikan. Aku tersenyum, memikirkan sesuatu. Kuambil HP di dalam kantong celanaku dan menulis sesuatu di catatan facebook-ku.

            Kematian bisa terjadi sama siapa saja, di mana saja, kapan saja.. Nggak peduli siapapun dia. Kata-kata itu udah sering banget kudengar. Tapi baru sekarang aku merasakan dan mengalaminya. Yang meninggal pun saudara dekatku, keluargaku juga. Dia bahkan seumuran denganku, kami sama-sama kelas 3 SMP, sama-sama 14 tahun. Itu semua ngebuat aku mikir, gimana kalau yang tadi meninggal itu aku? Apa aku udah siap? Apa aku yakin aku bakal masuk surga? Apa aku siap nanggung semua dosa-dosaku? Apa aku udah siap jauh dari semuanya? Sendirian?

            Sendiri itu hal yang paling menyiksa. Sendirian di kubur dan di Padang Mahsyar. Kita nggak bakal mikirin siapa-siapa lagi kecuali diri kita sendiri. Semua orang ketakutan, memikirkan nasib dirinya masing-masing. Surga atau neraka? Seberapa banyak dosa kita? Cukup nggak amal baik kita buat masuk surga?

            Aku juga belajar hal lain. Hidup itu nggak bisa ditebak, hidup itu misteri, hanya Allah yang Maha Tahu. Kita hanya bisa berusaha sebaik-baiknya, memohon padaNya. Karena semua bisa jadi kejutan dalam hidup. Beberapa menit yang lalu, datang telepon mengabarkan kematian. Sesaat kemudian, datang lagi telepon yang mengabarkan kelahiran. Bukankah itu semua ketentuan dari Allah? 

            Dan.. tadi pagi kami sekeluarga baru saja melaksanakan shalat Idul Fitri. Ya, hari ini lebaran. Baru tadi pagi kami berbahagia, saling bersalaman dan memaafkan. Saat sore menjelang, satu nyawa menemui malaikat Izrail, membuat orang menjatuhkan air mata karenanya. Satu nyawa lainnya baru saja menghembuskan nafas pertamanya, membuat kebahagiaan orang-orang di sekitarnya, memberi harapan dan mimpi-mimpi baru. Dua nyawa pergi dan datang hari ini, dengan jarak waktu yang tidak terlalu jauh. Semuanya memang sudah ditentukan.

Based on a true story

Padang Panjang, 22.08/17.09.11

 

* Qurrata Aini, pemecah rekor MURI sebagai penulis cerpen termuda, saat ini belajar di kelas XI MA KMI Diniyyah Puteri Padang Panjang