(Wulan Sardiana/MA KMI Diniyyah Puteri)

 

“Pa, Sofi mau jalan-jalan!” desak Sofi kepada papanya.

“Nak, papa belum bisa, kita harus mencari uang untuk bayar cicilan mobil,” jelas papa.

“Tapi, Pa. Kita sudah lama tidak berlibur, masa dari kemarin papa selalu bilang tidak bisa,” komentarnya lagi kesal dan berlalu pergi.

Marah dan kecewa tumpang tindih dalam setiap langkah kaki Sofi menuju kebun belakang. Terlihat olehnya sesuatu yang mengasyikan untuk dimakan. Dalam kebun yang tidak terlalu luas itu terdapat macam jenis buah-buahan. Diantaranya ada pohon jambu air, pepaya, jambu biji, sawo, nanas, singkong, kelapa yang pohonnya setinggi tiang rumah dan banyak lagi yang lainnya. Haus dahaga tiba-tiba saja meluncur hadir dalam kerongkongan Sofi. “Mengambil kelapa muda pasti sangat mengasyikkan,” pikirnya.

Arah mata Sofi pun tak luput berpaling melihat hijaunya buah pohon kelapa ynag berbuah lebat. Kayu yang tidak begitu jauh jaraknya ia ambil guna mengambil kelapa yang kelak akan mendatangkan kesegaran dalam setiap rongga-rongga mulutnya. Suara gesekan pun terjadi. Tidak memerlukan waktu yang lama, hanya sekitar 8 menit terdengar suara hempasan kelapa yang terjun dengan kecepatan kilat.

Lalu, kayu yang digunakan sebagai alat terlupakan begitu saja dan dicampakkan atas keinginan segera menikmati hasil tetesan keringat. Berlarilah gadis itu menuju rumahnya mencari sebuah parang. Ternyata apa dicari sedang terletak manis di bawah meja. Dengan semangat, ia pun kembali ke tempat buah yang sebentar lagi akan menjadi korban. Kedua tangannya dengan sigap mendaratkan ukiran yang mampu merobek-merobek setiap kulit kelapa. Telah terjadi beberapa kali cacat permanen yang sangat sadis di setiap tubuh kelapa itu. Keringat berjatuhan di jidat Sofi. Tapi, rasa marah yang tadi ia rasa sedikit bisa terlupakan.

“Wahai buah kelapa yang hijau, lihatlah dirimu. Sudah banyak kulitmu yang terkelupas. Begitu pulalah hatiku saat ini. Betapa aku sangat merasakan setiap lapisan hatiku terkelupas saat kemarahan menghempaskan jiwaku. Tapi kenapa sulit sekali untuk memukul tempurungmu yang sangat kuat itu, hingga tangan ini terasa sakit memegang parang dan membentuk jejak merah yang perih.”

Beberapa kali pukulan yang dilakukan Sofi belum mampu membuka pintu air yang bersarang di kelapa. Dengan kesabaran dan usaha, kelapa itu bisa sedikit mulai terbuka, memperlihatkan kulit dagingnya yang muda seperti jeli agar-agar. Berlarilah Sofi menuju rumahnya kembali untuk mengambil sedotan dan gelas. Tidak memerlukan waktu yang lama, ia segera ke tempat kelapa yang terdiam menunggu untuk segera dihentikan penderitaannya. Air kelapa pun meluncur naik menuju sedotan untuk sampai kepada mulut konsumennya. Terasa kesegaran mengalir ke dalam rongga tenggorokan Sofi yang kering. Saatnya pukulan lebih dahsyat harus ditempa untuk membuka tempurung agar bisa mencapai daging buah yang sekarang telah bercampur partikel-partikel kecil.

Puas menikmati buah kelapa muda. Tiba-tiba saja terlihat pohon jambu biji yang sedang berbuah. Dengan jangkauan tangan, buah itu pun telah berada dalam genggamannya. Duduk di pohon belakang rumah dengan tiupan angin kebun yang menari-nari membelai wajah amatlah menyenangkan. Apalagi menikmati setiap gigitan buah jambu yang terasa segar membuat dunia seperti taman surga yang menghilangkan semua beban yang menghimpit dada.

Hari-hari mulai membosankan bagi Sofi. Kenapa tidak? Orang tuanya sibuk menjual gorengan untuk makan sehari-hari dan membayar kredit mobil pick up yang mati-matian untuk dipertahankan. Sebab itulah satu-satunya barang yang sangat berharga bagi keluarganya. Tapi bagi Sofi, jalan-jalan pun tak kalah penting. Setiap saat tak henti-henti ia meminta untuk sekali saja bisa berlibur kepada orang tuanya.

“Pa, Sofi pengen jalan-jalan sekali aja, tolong dikabulkan ya,” isaknya saat papa bisa duduk setelah semalaman berdiri menjual gorengan.

“Besok-besok ya, Nak. Sekarang papa capek,” jawab papa meminta pengertian.

Berlalu Sofi menuju kamar, lagi-lagi permintaannya dijawab demikian. Besok-besok pun akan seperti itu dan entah kapan sampai pada ujung kenyataan.

“Pa, Sofi cemberut lagi. Kapan kita bisa jalan-jalan, Pa,” ucap Mama di sela memotong ubi.

“Ntahlah, Ma. Papa sebenarnya juga pengen sekali jalan-jalan, tapi kredit mobil kita dalam jangka waktu ini harus segera dibayar,” jawab papa.

“Dua minggu lagi bagaimana, Pa,” tanya mama.

“Coba papa usahakan yah,” respon Mama.

Kembali suami istri itu menyibukkan diri membuat gorengan untuk dijual sore harinya.

Perekonomian tidak akan mau tenggang rasa, jika kita mendapatkan kesusahan. Sebab ia akan terus mencekik, jika kita tidak tau cara mengatasinya. Mau makan apa jika hanya pengangguran. Oleh karena itu, papa dan mama mencari pekerjaan sampingan untuk melanjutkan kehidupan keluarga. Dulu, papa adalah seorang tukang bangunan yang dibilang bisa makmur. Namun karena banyak penebangan pohon sembarangan oleh orang yang tidak bertanggung jawab, maka mata pencaharian papa pun sulit untuk dilakukan. Setelah dua bulan menjual gorengan, Alhamdulillah bisa menyelamatkan kehidupan keluarga. Sebab letak berjualan yang strategis, dimana banyak orang yang berlalu lalang.

Sofi sekarang mulai mengerti dan tidak lagi seperti kemarin. Ia bisa merasakan saat ini kehidupan keluarganya sedang bermasalah dalam hal keuangan. Sebagai anak ia harus tau diri untuk tidak meminta ini dan itu. Sekarang bukan dulu yang bisa setiap minggu bisa pergi berlibur. Waktunya banyak ia habiskan di kebun belakang rumah  untuk bermain dan makan buah-buahan bersama Reni dan Rara, anak tetangga.

Pagi ini,  tiba-tiba mama memanggil.

“Sofi,… “

“Iya, Ma…” jawab Sofi dengan suara keras.

 “Kemari, Nak,” panggil mama lagi.

Sofi berlari ke halaman depan rumah, dimana suara mama berasal. Karena tergesa-gesa, hampir saja sebuah bata menyandung kakinya, sebelum ia mampu mengerem dengan tekanan cepat. Tapi untunglah ia tidak terjatuh, hanya terkejut.

“Pa, kenapa mejanya diletakkan di bak mobil,” tanya Sofi heran.

“Kita mau jalan-jalan, Nak,” jawab Papa.

“Tapi kok pakai meja sama disampul plastik biru, Pa,” tanya Sofi makin heran,

“Ya, nanti kalau hujan, Sofi bisa masuk ke dalam.” Tangan Papa asyik mengikat tenda berjalan.

“Wah, seru dong, Pa. Sofi boleh ajak teman-teman kan?” Sofi begitu antusias.

“Iya..iya..,” jawab papa bahagia.

“Tapi mama gak ada uang untuk pergi ke tempat wisata. Kita bawa nasi aja, nanti makannya di tepi danau. Kita mau keliling Sumbar,” ucap mama.

“Ke kelok 44,” sambung papa.

“Hore….. gak apa-apa kalau tidak ke tempat wisata. Makan di tepi danau, sepertinya seru juga. Tapi, kelok 44 itu seperti apa, Pa?“ tanya Sofi riang

“Nanti Sofi akan bisa lihat sendiri,” jawab papa dan berjalan masuk rumah.

Berlari dan terus berlari, Sofi menuju kebun belakang menyampaikan kebahagiaan kepada dua sahabatnya. Mimpinya sebentar lagi akan terwujud.

* * *

Bak mobil penuh dengan suara teriakan riang. Dengan berpegangan tali pengikat tiang tenda berjalan, 3 gadis remaja berdiri menghadap ke depan. Saat mobil mulai berjalan, tiupan angin mulai menyapu wajah Sofi dan kedua sahabatnya. Bukit dan pemandangan gunung banyak dijumpai.

Kelok 44 mulai mereka masuki. Sofi bersiap dengan mata besarnya untuk menuruni setiap belokan. Guyuran angin yang kuat, membuat pegangan mereka bertiga kian erat. Ketegangan dan kebahagiaan bercampur mengikuti putaran demi putaran kelok. Terlihat spanduk kelok 44 yang menghitung mundur, dan jalan yang mereka lalui dimulai dari kelokan 44. Dan yel-yel pun bersorak setiap kali berada di dekat spanduk.

“Hore…. “ Terdengar teriakan yang berbaur dengan kecepatan angin saat sampai pada kelok 29. Dan keriangan makin menjadi, saat banyak ditemui monyet-monyet di beberapa belokan. Pengemudi sepeda motor terlihat bahagia melihat keceriaan 3 gadis di bak mobil. Mereka merasa terhibur dengan suara kebahagiaan yang terpancar di ketiga wajah itu. Dan tentunya pusat perhatian menjadi milik mereka bertiga.

Akhirnya, mobil sampai pada spanduk kelok nomor 1 sebagai penutup kelok 44 yang dilalu mobil pick up warna hitam. Tak lama kemudian, dibentangkanlah tikar di bawah pohon besar di tepian Danau Maninjau. Semua duduk menghadap danau yang biru sambil menyantap hidangan sambal ayam tribol dan sayur bayam, dihiasi dengan tiupan angin yang menyejukkan.

Kembalilah mobil hitam berjalan menuju rumah pemiliknya. Tapi apa dikata, manusia hanya berencana, tetapi Tuhan Yang Maha Kuasa menentukan segalanya. Dialah Yang Maha Berkehendak untuk mendatangkan segala sesuatu pada makhluk-Nya. Di atas lajunya mobil, telah mengalir sesuatu yang tidak diharapkan bagi tiga gadis yang ada di bak belakang. Mereka terpaksa masuk ke dalam tenda. Hujan lebat telah turun membasahi kehidupan di bumi. Aspal pun basah akibat air yang turun dari langit.

Dua orang sahabatnya telah pergi ke alam mimpi berbagi selimut dengan  memperlihatkan wajah yang bahagia. Tapi Sofi masih terjaga. Ia menikmati turunnya hujan di atas arus perjalanan mobil. Rasa dingin tak ia hiraukan. Inilah kebahagiaan yang sangat sempurna dalam liburannya kali ini. Semua seakan mimpi. Cerita tentang liburan ini akan selalu tumbuh subur dalam ingatannya. Perlahan, kedipan mata mulai menidurkannya. Segalanya kian tak terlupakan dalam buayan mobil yang terus berjalan.