“Susah ya, jadi orang cantik. Belum hari H sudah banyak pengeran menitip salam,” celoteh teman karibku.

“Yah, itu mah harus disyukuri. Kayak kamu gak aja. Eh, lihat tuh, di lacimu juga ada tu,’’ spontan kumemberi tahu.

“Mana-mana.” Langsung ia berlarian menuju mejanya.

Tak menunggu waktu lama, Nia telah membuka suratnya. Senyum-senyum sendiri sudah menggambarkan ada detak jantung yang tak biasa merasuki sahabatku itu.

“Ciye…ciye….. surat dari siapa tuh,” serbuku tak mau kalah.

“Dari Yogi, anak IPA 2,” jawabnya senang.

***

“Non, banyak paket untuk non Hanny. Apakah mau diletakkan dikamar non aja?,” tanya bik Atik.

“Eh, iya, bik. Letak aja di kamarku,” serponku di sela fokus menonton film.

Detik membahagiakan inilah yang paling kunanti-nanti selama setahun ini. Setelah hari raya Idul Fitri, Idul Adha dan ulang tahunku tentunya, ada satu lagi yang kumasukkan ke dalam tanggal impian. Ya, Valentine Day, hari kasih sayang. Sudah 16 tahun umurku hidup di dunia ini, tetap saja besok adalah hari istimewa bagiku, Nia dan gadis-gadis di luar sana. Jika ditanya apa asal mulanya, aku juga gak tau pasti. Yang jelas semua orang yang kukenal merayakannya dan itu digemari oleh semua kalangan. Pernah sih aku mempertanyakan siapa pelopor di balik ini semua, tapi itu terabaikan hingga saat ini.

“Nia, kamu tau asal mulanya Valentine Day?” tanyaku yang saat itu menginjak 11 tahun.

“Itu hari untuk mengungkapkan cinta, Hanny. Semua orang tahu itu,” jawab Nia saat kami masih kelas 1 SMP.

Jadi, kata-kata itu yang selalu aku jawab jika ada orang yang mempertanyakan apa itu Valentine Day dan panduan itu juga yang membuatku ikut memeriahkannya. Aku tahu saat itu kebebasan diperbolehkan. Dan aku juga tau kalau hari itu pasangan kekasih bisa benar-benar membuktikan cinta mereka dengan berbagai cara. Tapi prinsipku, walaupun aku di mata anak sekolah termasak cantik dan populer,yang jelas nilai agama masih menjadi mahkota di kepalaku. Tidak kan pernah tergegas oleh nafsu atau lebih dari itu. Pesan mama sebelum meninggal benar-benar menjadi pedang dalam hatiku.

“Hanny, jaga dirimu baik-baik, nak. Ingat sholat dan hati-hati dalam bergaul. Mama mencintaimu,” nasehat terakhir mama, tujuh tahun silam.

Kalau boleh berbangga, aku dan Nia termasuk siswa minoritas yang masih terhormat. Bukan lagi rahasia jika banyak korban yang terjatuhan atas kemauan dan kegilaan mereka sendiri yang tentunya harus dibayar dengan penyesalan.

Puluhan nuansa pink tergeletak di atas kasurku malam ini. Memang sudah tradisi setiap cowok-cowok di sekolah, jika menyukai seseorang wanita harus memberikan maksud dan tujuannya sebelum hari H terjadi. Kado, boneka, bunga, surat dan cokelat, menjadi hadiah wajib. Aku tidak menyangka kado-kado ini khusus diberikan kepadaku. Kalau boleh jujur, masih kalah aku dengan Santi si primadona sekolah. Tapi kita tidak boleh rendah diri, jadi disyukuri aja, begitu kata mama dulu.

“Tut…tut…tut…” HP BBku berdering. Langsung kuangkat saat melihat nama yang tertera.

“Hanny, saat ini kau pasti sedang dikerumuni oleh kado-kado cowok-cowok itu kan? Berapa banyak?”serbu pemilik suara cempreng, enerjik dan galak saat kubaru berkenalan dengannya.

“Lumayanlah,” jawabku senang.

“Aku penasaran banget! Apa saja sih isinya,” balas Nia.

“Baiknya aku buka yang mana dulu yah,” ucapku dilema

Aku tidak peduli siapa yang memberikan semua ini, ganteng atau tidak. Semua akan kuhargai dan kalau perlu akan mewarnai kamar luasku. Tapi kalau pacaran, itu lain cerita. Ini murni hanya menghargai semata.

Surat pertama yang paling menonjol diantara yang lain, siapa lagi kalau bukan Andre, kapten basket yang tak juga kapok-kapok walaupun sudah aku tolak.

“Selincah gelora datang, Hanya kau, Hanny, yang mampu melewati hatiku.”

                           “Andre”

Wow! Kebahagiaan lengkap bersamaan gigitan cokelat pemberiannya. Ini yang aku suka dari Valentine Day, menikmati cokelat dengan kata-kata yang dirancang khusus untuk kita, siapa juga yang gak senang.

“Wahai kau, Hanny. Tahukah engkau, hanya satu nama yang selalu singgah dalam mimpiku. Ketika malam memantulkan bulan, mulai bercerita kepada pembaca surat ini.”

“Asep”

Membayangkan wajar Asep dengan gigi nonjol ke depan, aku tersenyum kecut. Tapi satu hal yang kusuka darinya, pede yang tinggi, cukuplah aku hargai. Lagian orangnya juga asyik diajak diskusi. Tapi kalau dia mencintaiku, yah itu mah urusan dia.

Surat demi surat, kado, dan bunga mulai terbuka. Intinya sama, kata-kata gombal, puitis dan cukuplah membuatku tersanjung. Namun tetap saja ada rasa kosong dalam hatiku. Bukan kali ini saja, tahun-tahun sebelumnya juga sama. Ada perasaan bersalah yang sulit dicerna atau dijelaskan. Entah apa maksudnya.

“Loh, surat siapa ini.” Amplop polos terselip diantara kemewahan kado. Rasa penasaran telah membakar rayuan kata yang masih terngiang. Kucermati, lalu dengan hati-hati aku membuka surat yang tak bertuan itu. Dua buah undangan terselip dalam amplop, tapi mataku lebih tertuju kepada isi suratnya.

“Maaf, kau tidak perlu mengenalku, tapi aku mengagumimu. Kalau tidak keberatan, dengan keikhlasan hati, aku mengundangmu hadir dalam wirid remaja dan insyaAllah akan menjadi pahala.”

TEMA ”Valentine Day”

Gedung AR-RAHIM, jalan Mutiara, pukul 13.30 WIB

Siapa ini, kenapa kata-katanya begitu sejuk dalam hati. Lama aku terdiam mencerna semuanya. Baru kali ini ada orang di luar sana yang peduli dengan ibadah atau agamaku. Sebelumnya, tak ada yang peduli apakah aku sholat atau tidak. Papa, dia sibuk dengan bisnisnya yang gak pernah usai. Bik Atik, iya, hanya dia yang setiap saat tak bosan-bosan memberi nasehat. Tapi ada yang berbeda dari surat ini, intinya ada orang yang peduli dengan keimanan. Kalau boleh jujur, shoping dan clubbing telah menjadi langkah kakiku akibat ketidakpedulian keluargaku.

***

Pagi ini sangat berbeda. Akan ada pertunjukan khusus penyambutan Valentine Day. Buktinya, panggung dengan nuansa pink telah didesain untuk acara nanti malam. Katanya akan hadir artis ibu kota menghibur pasangan kekasih.

“Hanny…” Suara yang sangat familiar terdengar di telingaku.

“Tau tidak….” Langsung aku ambil kemudi sebelum dia menceloteh panjang lebar.

“Jadi, ceritanya kamu kepengen pacaran gitu,” pancing Nia senang.

“Gak lah, belum waktunya. Tapi kalau suka sih iya, lagian hal itu wajar kan,” jawabku.

“Intinya, mau ikut nih.” Nia kembali ke pokok persoalan.

“Iya, kau tau aku ini tipe penasaran tingkat tinggi, tapi kau ikut kan?” tanyaku

“Gimana yah. Soalnya aku udah milih Wahyu jadi solmet nanti malam.” Walau gak enak hati, ia menolak.

Bujuk rayu telah kubuaikan kepada sahabatku itu. Tentu aku yang menang, sebab dinamapun ada Hanny, pasti di situ ada Nia. Tapi ini dia, ada syarat juga yang harus kupatuhi. Kalau acara wirid itu membosankan, nanti malam aku harus solmet sama Andre. Kok bisa, entah jampi-jampi apa yang telah dikeluarkan tim basket itu pada sahabatku ini.

Deal.” Terucaplah kata kesepakatan.

“Iya,” jawabku asal, yang penting penasaran ini bisa hilang.

Mobil BMW pink, telah menyatu ke dalam arus jalan raya. Sengaja langsung kupakai hadiah papa untuk menyamai hari kasih sayang. Tapi sebenarnya malas banget harus menerima kenyataan bahwa papaku ingkar janji lagi dan lagi. Aku hanya ingin kasih sayang darinya. Bukan mobil mewah ini.

“Kejutan apa ini.” Nia melihat banyak wajah-wajah familiar memasuki gedung AR-RAHIM.

“Valentine Day… hari ini yah,” pancing buk Nisa selaku motivator.

“Ok, kita mulai dari apa sih itu Valentine Day? Ada yang tau gak?” Pertanyaan itu begitu semangat direspon oleh para peserta.

“Hari kasih sayang, buk.” Nia tampak sangat bersemangat, lupa sebelumnya ia menolak ikut.

“Ya bagus, sekarang ada yang tau gak apa itu kasih sayang?” tanya buk Nisa lagi.

Tiga peserta telah mengemukakan argumennya masing-masing. Siapa yang menyangka salah satu dari tiga penjawab bisa membuat ruang seminar kocak menahan tawa, orangnya yang terlampau jujur atau bolos banget.

“Baik, sudah-sudah, kita lanjutkan lagi. Jadi, kasih sayang itu….” Bahan materi yang disampaikan mulai mengalir seperti air.

“Dosakah, aku!” Kebenaran yang mengejutkan dan secara logika itu terbukti nyata. Untuk apa selama ini aku merayakan kematian Valentine. Baru kini aku ketahui itu semua salah.

“Itu bukan budaya kita. Islam tidak pernah mengajarkannya. Asal mulanya saja kita tidak tahu.” Sesi terakhir ditutup dengan satu kesimpulan.

Lunglai, aku putuskan untuk pulang, tapi beban penyesalan ini telah membekukan kaki untuk melangkah. Setelah kejutan demi kejutan hari ini dan untuk pertama kali aku rasakan dalam hidupku. Jujur, inilah pertama kali aku merasakan batinku sejuk akan ceramah agama. Bukan tidak mau ikut-ikutan acara mentoring atau wirid remaja lainya, tapi emang tidak ada pengarahan kesana atau tepatnya aku yang belum menyadari betapa pentingnya acara ini.

Ya sudahlah, yang penting sekarang aku mengenal apa itu wirid remaja dan untuk tahun–tahun yang sempat kurayakan Valentine Day itu, biarlah berlalu. Itu dulu dan sekarang akan ada perubahan. Malam ini, aku akan di rumah. Tiba-tiba saja aku merindukan bik Atik.

“Nia, benar kan wirid remaja itu bukan seperti ibu-ibu yang suka kumpul, yang sering kita lihat?” Aku bercakap hanya untuk membunuh penyesalan.

”Iya-iya, beda kok. Emm.. Hanny, sudah kuputuskan malam ini adalah hari biasa, tidak ada hari istimewa lagi. Tapi untuk malam ini aku tidur di rumahmu yah.”

Kami sama-sama merasa bersalah. Percakapan ringan selanjutnya menjadi senjata ampuh penyesalan yang tengah merasuki.

Aku tau, penyesalan itu selalu akan berada di akhir kisah. Tapi aku tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan. Valentine Day yang dulu selalu kuharapkan, kini telah pudar berguguran bersamaan tumbuhnya rasa untuk mengenal apa itu agama.

“Hanny. Kamu sama Nia kok dapat undangan. Kalian kelas 11 kan?. Acara ini khusus untuk anak kelas 12,” tanya kak Anita tiba-tiba.

“Ooo… pantas aja semua isinya kakak kelas. Lalu siapa kakak yang mengagumimu itu, Hanny?” tanya Nia.

“Ciye…ciye… Ada di antara panitia yang suka sama Hanny nih ceritanya,” goda kak Anita tetangga rumahku.

Aku hanya tersipu malu. Bagiku, itu semua belum saatnya.

###

(Wulan Sardiana/MA KMI Diniyyah Puteri)