Yendri Junaidi, MA

(Dosen STIT Diniyyah Puteri Padang Panjang)

Tersebutlah kisah seorang ulama dari kalangan Bani Israil bernama Bal'am bin Ba'ura`. Ia hidup di zaman Nabi Musa as. Di samping seorang ulama ia juga seorang yang sangat taat dalam beribadah. Sampai-sampai ia dikaruniakan Allah swt sebuah kelebihan yaitu ia diberi tahu ismullah al-a'zham (nama Allah yang paling agung). Seseorang yang mengetahui nama ini doanya pasti akan dikabulkan oleh Allah swt.

Suatu hari ada beberapa orang Bani Israil yang sudah lama memendam rasa benci dan permusuhan kepada Nabi Musa as, datang menemui Bal'am bin Ba'ura`. Mereka berkata: "Wahai Bal'am, gunakanlah kelebihanmu itu untuk mendoakan keburukan dan kebinasaan untuk Musa dan para pengikutnya." Bal'am terkejut. "Mana mungkin aku doakan kelebihanku ini untuk mencelakakan seorang Nabi yang diutus oleh Allah swt." Tapi mereka terus membujuk dan merayu. Mereka pun menyogok Bal'am bin Ba'ura` dengan harta yang sangat melimpah untuk menundukkan idealismenya.

Bal'am akhirnya takluk. Ia pun mendoakan keburukan terhadap Nabi Musa as dan para pengikutnya dengan menggunakan ismullah al-a'zham yang diketahuinya. Tapi kali ini Allah swt tidak mau mengabulkan doanya, karena Bal'am telah mengikuti hawa nafsunya kepada harta dan menggunakan agama untuk mendapatkan kesenangan duniawi. Bal'am kemudian ditunggangi oleh setan. Ia menjadi pengikut setan yang setia. Dan kisah inilah -menurut para ulama- yang dimaksud di dalam firman Allah swt surat al-A'raaf ayat 175-176.

Ternyata keulamaan dan ketaatan Bal'am bin Ba'ura` tidak berdaya di depan hawa terhadap harta dan kekayaan. Bal'am tentu bukan tokoh agama satu-satunya yang menjadi korban hawa harta dalam sejarah manusia. Ia hanyalah satu dari sekian banyak tokoh agama, ulama, kiyai, buya dan sejenisnya yang akhirnya menyerah ketika berhadapan dengan keinginan untuk merubah hidup dan mengecap kesenangan duniawi yang memang menggiurkan itu.

Kita tinggalkan sejarah masa lampau sejenak. Mari kita tukikkan pandangan ke masa ini. Tak jauh-jauh. Peristiwa itu terjadi di Ranah Minang. Bulan Februari 2013 lalu diberitakan bahwa seorang Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di wilayah Padang Pariaman tertangkap basah melakukan mesum di dalam mobil pribadinya dengan seorang siswi SMA. Ternyata posisinya sebagai Kepala KUA yang tugas utamanya adalah meresmikan hubungan lawan jenis tidak mampu menahan syahwatnya kepada seorang gadis matah.

Sekarang kita layangkan pandangan ke ibu kota Jakarta. Di suatu pagi, dalam sebuah acara televisi swasta, terjadi dialog antara seorang juru bicara sebuah ormas Islam dengan seorang pengamat sosial. Awalnya dialog berlangsung biasa. Tapi setelah itu sang pengamat memotong pembicaraan jubir ormas Islam. Sang jubir pun emosi. Ia tak mampu mengendalikan amarahnya. Akhirnya ia ambil gelas berisi teh di depannya lalu disiramkannya kepada sang pengamat. Peristiwa ditonton oleh sekian juta pemirsa di seluruh Indonesia. Label sebagai aktivis Islam tidak mampu mengerem nafsu amarah sang jubir sehingga ia melakukan tindakan yang memalukan itu.

Kenapa semua ini bisa terjadi? Kenapa keulamaan Bal'am bin Ba'ura` tidak mampu menahan nafsunya terhadap harta dan kekayaan? Kenapa posisi dan jabatan si Kepala KUA tidak berdaya menyetop syahwatnya kepada seks? Kenapa label dan merek sebagai aktivis Islam seakan tak berarti apa-apa menghadapi nafsu amarah yang ingin segera diluapkan?

Semua itu bisa terjadi karena satu kata kunci: hawa nafsu. Baik hawa nafsu kepada harta, seks, amarah dan sebagainya. Siapapun akan dihinggapinya. Dan siapapun bisa saja menjadi korbannya. Tak peduli betapa tinggi ilmu agamanya, terhormat posisinya atau dikenal namanya oleh banyak orang. Kalau pertahanan iman dan jiwanya lemah maka ia akan ditaklukkan oleh yang namanya hawa.

Setiap orang bisa saja mengaku sebagai orang yang bersih. Siapa saja sah-sah saja mengklaim dirinya jauh dari dosa dan kemaksiatan. Tapi pengakuan dan klaim itu butuh pada pembuktian. Bagaimana pembuktiannya? Pembuktiannya adalah ketika ia dihadapkan pada kondisi-kondisi yang nyata dan riil keseharian. Kondisi-kondisi keseharian itu akan menjadi cobaan dan ujian terhadap keimanannya. Benarkah ia seorang yang bersih dan berpribadi suci atau itu hanya sebuah klaim kosong tanpa bukti.

Kita sering mendengar pertanyaan seperti ini: apa beda iman dengan Islam? Jawaban yang biasa kita dengar adalah iman itu sebuah keyakinan sementara Islam adalah amal keseharian. Iman memiliki enam rukun sementara Islam memiliki lima rukun. Tentu itu tidak salah. Tapi perbedaan yang paling penting antara iman dengan Islam adalah kalau Islam lebih bersifat warisan (saya Islam karena saya dilahirkan dalam keluarga yang muslim), sementara iman adalah pengalaman ruhani setiap individu muslim.

Contoh sederhana untuk hal ini adalah shalat berjamaah. Sebutlah ada lima orang sedang shalat berjamaah, salah seorangnya menjadi imam. Kelima orang tersebut melakukan praktek ibadah yang sama. Mereka sama-sama berdiri, kemudian rukuk, lalu sujud, terakhir salam. Tapi apakah kondisi ruhani atau kejiwaan yang mereka rasakan selama shalat itu sama? Jelas tidak. Ada yang benar-benar menghayati bacaan demi bacaan dalam shalatnya. Sehingga tanpa terasa hatinya gemetar dan matanya mengeluarkan air. Ada yang berusaha sekuat tenaga untuk konsentrasi tapi selalu diganggu oleh pikiran-pikiran lain. Ada yang berpikiran bagaimana secepatnya selesai untuk merampungkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Bahkan ada yang shalatnya sambil bermain-main dan menghayal kemana-mana.

Itulah beda seorang muslim dengan mukmin. Muslim itu warisan, tapi mukmin itu pengalaman. Hanya orang-orang yang pernah merasakan pengalaman ruhani dan ketenangan batinlah yang akan berhasil mengontrol dirinya dari berbagai bisikan hawa nafsu. Hanya mereka yang benar-benar menyadari nilai sebuah keimanan dan ketaatan yang akan mampu menundukkan hawa nafsunya. Oleh karenanya, ketika Allah swt menyeru manusia untuk berpuasa, Dia tidak mengatakan: Ya ayyuha alladzina aslamu... (wahai orang-orang yang telah Islam). Tapi Dia mengatakan: Ya ayyuha alladzina amanu... (wahai orang-orang yang telah beriman).

Bagi kita yang selalu saja dikalahkan oleh hawa, ditundukkan oleh nafsu, tidak kuasa menahan berbagai keinginan, maka inilah saatnya untuk menang. Allah swt menyediakan untuk kita sarana untuk latihan. Itulah bulan Ramadhan. Ramadhan adalah bulan untuk menundukkan hawa nafsu, mengekang syahwat, mengontrol keinginan-keinginan, merencanakan program-program, dan membersihkan pribadi. Jangan sia-siakan kesempatan emas ini. Jadikan puasa sebagai cara untuk menundukkan hawa.

Wallahu a'lam.