Memaknai Perbedaan Melalui Dinding Pesantren

Oleh: Fazatil Husainah Fauzi El Muhammady (Kelas XI IPS)

Suara teriakan diiringi rintihan minta tolong terdengar lirih dilereng perbukitan Lembah Anai. Keindahannya tergambar jelas melalui jernihnya sungai yang mengalir di sepanjang bebatuan. Tak terlepas pula derasnya air terjun yang mengalir setiap waktu. Namun kala itu bulan September tahun 1940, sebuah kecelakaan kereta api terjadi yang mengakibatkan banyak korban jiwa.

Seorang guru wanita sekaligus bidan di Kota Padang Panjang berlari tergopoh-gopoh saat kabar tersebut sampai ketelinganya. Gurat wajahnya terlihat cemas, hingga dirinya tiba di tempat kejadian. Dengan bantuan santri-santrinya ia menolong para korban dan hendak membawa mereka ke rumah sakit. Naasnya ia baru menyadari tak satu pun rumah sakit terdekat yang dapat dimintai pertolongan. Tanpa berpikir panjang suara lantangnya memerintahkan santri-santrinya untuk menyiapkan kelas-kelas mereka sebagai ruang perawatan.

Dialah Rahmah El Yunusiyyah, pendiri Pondok Pesantren Diniyyah Puteri yang menjadikan pesantrennya sebagai rumah sakit darurat. Melalui pengalamannya sebagai seorang bidan, tangan Bunda Rahmah mengobati luka para korban tanpa memandang perbedaan. Baik pribumi maupun Belanda ia obati sebisa yang ia lakukan.

Aksi heroik Bunda Rahmah memberi pesan haru bagi korban maupun pihak keluarga. Mereka mengapresiasi jiwa kemanusiaan yang Bunda Rahmah miliki. Meski saat itu ia dalam pengawasan Belanda akibat kesempatan pendidikan yang ia perjuangkan bagi kaum wanita.

Perjalanan waktu yang panjang tak melepas memori itu dalam ingatan keluarga korban. Diantaranya ada yang mendatangi Diniyyah Puteri untuk berterima kasih atas pertolongan yang diberikan. Bahkan suatu ketika, seorang turis asal Belanda berdiri di depan gerbang Diniyyah Puteri sambil mengenang ayahnya yang turut dirawat di sekolahtersebut saat kecelakaan itu terjadi. Demikianlah sepenggal kisah dari Ibu Fauziah Fauzan, Pimpinan Diniyyah Puteri saat ini yang ia dengar langsung dari neneknya, Hj. Husainah Nurdin, Pimpinan Diniyyah Puteri ke-3 (1990-1996).

Sikap kemanusiaan Bunda Rahmah dalam menghargai perbedaan ia wariskan kepada santri-santrinya. Ibu Fauziah mengakui hal tersebut, sebab sejakawal berdirinya Diniyyah Puteri tahun 1923, Bunda Rahmah telah menerima santri dari beragam etnis, daerah hingga lintas negara. Ia terbuka terhadap kaum hawa mana pun yang ingin belajar.

Ibu Fauziah sendiri membagi pengalamannya saat menjadi santri di Diniyyah Puteri. Pada waktu itu beliau memiliki teman yang beragam. Perbedaan menjadi hal lumrah yang ia akui cukup menantang dan menyenangkan.

“Waktu itu ada seorang santri dari Thailand. Awalnya saya maupun teman yang lain sedikit shock, ketika dihadapkan dengan perbedaan yang ada di antara kami,” ungkapnya antusias.

Ibu Fauziah melanjutkan bahwa temannya itu memerlukan waktu enam bulan beradaptasi dengan budaya yang berbeda dari tanah asalnya. Terlebih lagi, ia harus mempelajari bahasa Indonesia yang sebelumnya belum dikenal. Hal serupa juga dialami teman Ibu Fauziah lainnya yang berasal dari wilayah timur Indonesia. Dengan aksen bahasa yang sedikit berbeda mereka harus menyesuaikan diri dengan aksen bahasa yang ada di lingkungan asrama Diniyyah Puteri. Hal tersebut memerlukan waktu satu atau dua bulan.

“Saya dan teman-teman memanfaatkan perbedaan di Diniyyah Puteri untuk memperkuat tali pertemanan. Kami sering menghabiskan waktu dengan makan bersama, main bersama dan pergi ke pasar bersama sambil memperkenalkan budaya Minangkabau bagi teman-teman yang datang jauh dari Sumatera Barat,” jelas Ibu Fauziah

Munculnya sikap menghargai di lingkungan Diniyyah Puteri lantaran dasar ayat Al-qur’an yang dipegang Bunda Rahmah yaitu surah Al-hujurat ayat 13. Dalam ayat tersebut tertera bahwa Allah menciptakan manusia berbeda suku bangsa untuk dapat saling mengenal. Sekaligus mengisyaratkan untuk menghargai sesama manusia.

 Sejalan dengan pengalamannya, kini Ibu Fauziah meramu berbagai cara dalam mempertahankan perilaku menghargai di Diniyyah Puteri. Beliau menerapkan berbagai macam aturan maupun program yang dinilai dapat membantu tujuannya tersebut, termasuk penerapan larangan bullying.

Sejak tahun 2003, larangan bullying berlaku di lingkungan pesantren tersebut. Ibu Fauziah mengaku tujuan adanya peraturan itu untuk meminimalisir sikap diskriminatif terhadap seseorang yang memiliki perbedaan. “Di sini kalau ketahuan mem-bully konsekuensinya drop out,” jelasnya. Peraturan ini berperan mengurangi konflik akibat perbedaan. Santri terlatih menghargai sesuatu yang berbeda darinya.

Dampak positif peraturan tersebut dialami oleh Miske Ariza, santri asal Jakarta. Ia membagi pengalamannya saat pertama kali datang ke pesantren yang berdiri hampir satu abad itu. “Pada awalnya pasti kerasa banget bedanya budaya orang di sini dengan orang Jakarta. Apalagi orang Jakarta itu kan agak individual, kalau di sini semua itu dilakuin bareng-bareng.” Ia melanjutkan, meski budaya yang dibawanya sedikit berbeda, tak membuat teman-temannya bersikap diskriminatif. Mereka justru sering mengajak Miske untuk melakukan suatu pekerjaan bersama, seperti mendekorasi lingkungan asrama saat lomba tujuh belasan diselenggarakan.

Demikian pula Mughirati Magfirah, santri asal Pandai Sikek, Sumatra Barat. Ia menceritakan banyak temannya berasal dari kota-kota besar seperti Jakarta, Medan, Palembang, dan lainnya. Sedangkan ia berasal dari daerah yang jauh dari keramaian kota. Adanya perbedaan budaya dengan teman-temannya, justru dimanfaatkan sebagai sarana membentuk tali pertemanan yang baik. Mughirati sering menceritakan budaya dan tradisi Minangkabau. Begitu pun temannya yang menceritakan kepadanya tetang gemerlap kota-kota besar.

Seiring larangan bullying, Ibu Fauziah juga membentuk program evaluasi malam yang dilakukan setiap hari bersama pembina asrama. Evaluasi ini ditujukan sebagai sarana menyampaikan pendapat sekaligus penyelesaian terhadap masalah yang terjadi dihari tersebut. Santri dilatih bisa menyampaikan pendapat secara baik, menyelesaikan masalah hingga tuntas, tanpa harus tersulut emosi. Evaluasi dilaksanakan satu jam setelah sholat Isya.

Ibu Fauziah turut menjelaskan bahwa ada 3 karakter santri Diniyyah Puteri yaitu ahli ibadah dan akhlakul karimah, kuat dan tegar sebagai mujahid Allah, dan cerdas sebagai khalifah. Guna mencapai 3 karakter tersebut, Diniyyah Puteri mengembangkan kurikulum tersendiri yang diberi nama Quba Curriculum (Qur’an Sunnah Qalbu Brain Attitude). Dikembangkannya kurikulum ini agar keberadaan Al-quran dan Sunnah dapat membangun hati yang bisa memimpin kerja otak secara baik dalam menghasilkan sikap luhur.

Salah satu karakter yang dikembangkan di Quba Curriculum adalah social skill, yakni kemampuan seseorang dalam membangun hubungan pertemanan. Melalui lingkup pertemanan inilah perilaku seseorang dalam menghargai akan diuji. Mampukah mereka bersikap semestinya jika dihadapkan dengan sesuatu yang berbeda darinya atau sebaliknya.

Dalam social skill yang dibutuhkan adalah empati. Kemampuan memahami emosi dan perasaan orang lain untuk kemudian memberikan respon yang tepat dalam membangun hubungan antar manusia. Jika kemampuan empati ini kuat, maka ia akan mampu mengontrol emosi dalam segala situasi, mencoba menerima perbedaan dengan orang lain dan menahan rasa ego,” terang Ibu Fauziah.

Hingga saat ini Quba Curriculum menjadi ciri khas tersendiri di Diniyyah Puteri dalam membentuk karakter santrinya terutama dalam menghadapi perbedaan. Hadirnya kurikulum ini menjadi gambaran nyata mengenai pentingnya bersikap luhur. Santri diarahkan untuk mampu menerapkan apa saja yang telah diajarkan Al-quran dan Sunnah sehingga budaya menghargai yang telah bunda Rahmah wariskan tak lekang dimakan waktu.