(Maulidia Parasmita Rozi/MAS KMI Diniyyah Puteri)

Di sudut kelas, sekelompok gadis tengah bergosip ria. Tepat di sebelah, mungkin hanya berjarak kurang lebih satu meter dari Dodi, terdapat perkumpulan lelaki yang sedang bermain dengan sejumlah kartu dan berita bola yang menggemparkan kaum Adam. Sedangkan di bagian depan, para remaja cantik nan jelita heboh ketawa cengengesan membahas fashion masa kini.

Hawa sejuk berhembus dari luar. Angin sepoi-sepoi membuat kelopak mata Dodi bagaikan nyiur melambai. Topangan yang sempat menegakkan kepalanya, seketika ambruk ke papan berwarna biru yang terbuat dari kayu jati. Namun tidur dalam posisi duduk mengundang rasa tidak nyaman. Ditambah lagi dengan insiden yang sedang terjadi di kelasnya.

Dodi memutar haluan kepalanya seratus delapan puluh derajat ke arah belakang. Respon yang dihadirkannya hanya sebatas gelengan kepala terhadap tingkah laku teman-temannya. “Sekarang kelas bagaikan pasar basah,” keluhnya pelan.

Seketika masuk seorang wanita dengan sepatu high hitam mengilap disertai lima butir mutiara imut memberikan nuansa mewah dan elegan. Ia berjalan anggun menuju kelas kemudian mengambil posisi siap siaga untuk mengabsen siswa yang hadir.

“Hari ini kita akan belajar mengenai peta.” Goresan tinta tebal telah mengotori papan putih dengan noda hitamnya.

“Sebelum kita memahaminya lebih lanjut, kita harus mengetahui terlebih dahulu dasarnya, yaitu definisi peta.” Mata wanita yang telah menginjak usia setengah abad itu melirik-lirik siapa yang berani tanpa harus ditunjuk.

“Siapa yang bisa?” tanya sang guru kemudian.

Detik demi detik hanya diisi dengan kesunyian.

Sesosok tubuh yang dibalut batik cokelat disertai terusan selendang panjang menutupi rambutnya mencoba memberanikan diri melawan pertanyaan sang guru.

“Oke. Kamu!” Telunjuk wanita itu bergerak cepat menyambar ke arah wajah sang murid.

Sosok berpakaian batik cokelat itu berdiri tegap. Merapikan pakaiannya yang tidak lusuh.

“Sebelumnya, saya ingin memperkenalkan diri terlebih dahulu. Perkenalkan nama saya Dini. Lebih tepatnya Dini Dwi Lestari. Sebelum saya menjawab pertanyan ibu, bolehkah saya bertanya sesuatu?”

Seketika suasana menjadi tegang.

“Baiklah. Silahkan.”

“Tahukah ibu pepatah yang mengatakan ‘Tak kenal maka tak sayang’?” Nada suara Dini terdengar sok menceramahi.

“Tahu,” jawab sang guru.

“Hmm... bisakah ibu menunjukkan identitas ibu terlebih dahulu. Agar kedepannya nanti, kita bisa lebih akrab gitu. Seperti ada kontak batin antara ibu dan anak. Monggo atuh, bu.” Logat Jawanya keluar. Dini yang masih tetap mempertahankan ekspresi sok manis, dengan pipi cubbynya seperti ikan gembung, membawa suasana menegangkan menjadi ledakan unjuk gigi.

“Oh, sepertinya kamu siswa yang tidak hadir pada pelajaran saya minggu lalu.” Wanita paruh baya itu mengambil spidol di atas meja dan mulai melukiskan beberapa huruf di papan tulis.

“De..si..nga..riyan..ti,” eja Dini ketika bu Desi menuliskan namanya.

“Nama ibu adalah Desi Ngariyanti. Mungkin kalian bisa memanggil ibu dengan panggilan ibu Desi.” Tatapan ibu Desi tertancap tepat di bola mata Dini.

“Kalau saya memanggil ibu Des atau ibu Riyan atau juga ibu Yanti, boleh nggak, bu?” Nada suara Dini terdengar centil.

“Boleh-boleh saja. Asalkan jangan panggil ibu singa.” Ibu Desi hanya tersenyum dengan kata-katanya sendiri.

“Singa?” Reza masih bingung dengan perkataan bu Desi, sementara anak-anak yang lain sudah asyik dengan candaan tersebut.

Tidak sengaja Fizi mendengar perkataan Reza dan melihat mimik wajahnya yang masih kebingungan.

“Dasar kamu, Reza. Lola banget sih.” Fizi pun memberi tahu Reza apa yang terjadi dengan kata ‘singa’ yang dilontarkan oleh bu Desi.

“Hahaha.. haha...” Semua mata tertuju ke arah Reza.

Suara tawa telah usai. Namun Reza yang baru menyadarinya, membuat isi kelas menjadi heboh kembali.

“Huhu... Reza telat ketawanya,” timpal teman-temanya.

“Peta adalah suatu petunjuk yang dapat mengantarkan manusia ketempat tujuannya.” Dini menjawab pertanyaan yang belum sempat dijawabnya.

“Ada lagi?” tanya bu Desi.

Kali ini Fizi yang berbicara, “Peta itu yang ada di dalam atlas atau globe. Terkadang ada yang menjadikannya pajangan dinding.”

Ibu Desi hanya mengangguk membenarkan jawaban Fizi. Namun karena belum merasa puas, bu Desi tetap bertanya kepada anak didiknya.

“Siapa lagi yang bisa menyempurnakannya?”

“Peta adalah petunjuk jalan yang mengarahkan kita menuju kekayaan alami yaitu harta karun.” Tangan Reza yang dibentangkan ke samping membuat teman-temannya melongo melihat gerakan yang dilakukan Reza.

“Reza kebanyakan nonton film kartun, nih,” kata Tania yang merasa aneh dengan tingkah laku Reza.

Akhirnya bu Desi memberikan definisi peta yang sebenarnya.

“Peta adalah gambaran umum permukaan bumi pada bidang datar yang diperkecil dengan skala tertentu dan dilengkapi dengan tulisan serta simbol sebagai keterangan.”

“Aduh, bu. Panjang banget definisinya,” kata Fizi menggaruk-garuk kepalanya yang berminyak.

“Ambil kata-kata yang penting saja. Kemudian dibuat dalam bentuk kalimat.” Ibu Desi menjelaskan dengan penuh kasih sayang.

“Terus definisi yang kami ajukan salah, bu?” Dini memasang muka cemberut.

“Definisi yang kalian buat sudah benar. Hanya saja kurang sempurna. Siapa yang tahu kata-kata penting dari definisi yang ibu buat?”

“Gambaran umum,” kata Fizi.

“Bidang datar,” jawab Dini.

Reza langsung menerobos Dodi. “Saya, bu. Skala. Benar nggak?”

Ibu Desi hanya mengangguk membenarkan. Kemudian memberi peluang kepada Dodi untuk menjawab.

“Simbol,” kata Dodi kesal.

***

“Dodi arahkan kapal ke arah selatan!” perintah Reza sambil menerka-nerka dimana pulau misterius itu berada.

“OK, kapten.” Dodi melesatkan putarannya sesuai instruksi.

“Simbol apa ini?” tanya Reza bingung melihat kertas usang tersebut.

“Kapten, kapten di depan sana ada pusaan air yang besar.” Dini perompak wanita satu-satunya di kapal meneriaki sang kapten.

“Dodi, belokkan kapal ke arah kiri. Fizi, tutup kembali layarnya supaya kapal tidak melaju dengan cepat.” Reza pun ikut membantu teman-teman perompaknya.

“OK, kapten,” jawab Dodi dan Fizi kompak.

“Reza!” Dentuman keras mendarat di meja Reza. Lamunan Reza langsung buyar karena dentuman keras memukul mejanya.

“Kamu lagi melamun, Reza?” tanya bu Desi.

“Biasa, bu. Lagi menghayal dapat harta karun.” Tania kelihatan senang sekali menjahili Reza.

Ibu Desi hanya bisa menghela nafas.

“Jadi setiap peristiwa alam seperti gunung meletus, gempa bumi, atau tsunami, bisa dibaca melalu peta, bu?” tanya Dodi.

“Tepat sekali. Seperti peristiwa gempa bumi dua hari yang lalu.”

“Iya, bu. Kok bisa berita tentang kekuatan gempanya langsung diketahui secara cepat?” tanya Dini heran.

“Bahkan dalam hitungan menit saja semua orang bisa mengetahui kekuatan gempa dan pusat gempa,” tambah Dodi yang masih penasaran.

“Ada yang tahu nama alat pengukur gempa?” Begitulah cara bu Desi membangkitkan gairah penasaran muridnya.

“Kalau tidak salah namanya seis.. seis..,” kata Reza yang sedang berpikir keras mengingatnya.

“Seismograf,” jawab teman-temannya serentak.

“Betul. Seismograf merupakan alat untuk mengukur seberapa kuat pergeseran lempeng bumi serta kita juga bisa mengetahui dimana pusat gempa berada.”

“Terutama Sumatera Barat merupakan Provinsi yang rawan gempa kan, bu?” tanya Fizi.

“Benar sekali.” Air muka bu Desi mendadak berseri-seri.

“Orang yang bekerja seperti itu apa nama kantornya, bu?” Dodi mulai menampakkan keterlibatannya.

“Namanya BMKG.”

“Apa kepanjangannya, bu Desi?” tanya Tania.

“Badan Meteorologi dan Geofisika. Betul, bu?” jawab Dini bangga.

Pintar anak-anak ibu ini.” Senyum merekah tersungging dari bibir merah bu Desi.

***

“Tania, coba lihat ini.” Mimik wajah Dodi mendadak tegang.

“Gempa susulan sepertinya akan terjadi lagi nanti malam. Tepatnya tengah malam,” lanjut Dodi memasang mimik cemas.

“Kalau begitu kita harus mengumumkan ke seluruh warga sekitar untuk waspada terhadap gempa susulan.” Tania ikutan panik.

“Reza dan Fizi, tolong sebarkan berita gempa susulan melalui siaran radio.” Jemari Dodi bergerak tanggap dalam memberikan perintah.

“Sedangkan kamu, Dini. Sebarkan berita melalui Minang TV,” lanjut Dodi memberi instruksi.

“Siap, pak,” jawab rekan-rekan kerjanya.

“Kejadian tahun dua ribu sembilan jangan sampai terulang kembali. Banyak sekali korban berjatuhan karena peristiwa alam ini.”

Tania yang mendengarkan perkataan bosnya hanya menjawab dengan anggukan.

Sementara itu ibu Desi berkeliling dari satu baris meja ke barisan meja yang lain. Memastikan murid-muridnya tetap fokus dengan materi yang disampaikan.

Dodi yang sedang menerawang keluar jendela, tertangkap basah oleh bu Desi.

“Ada pohon besar di luar sana. Teduh, sejuk, adem, dan nyaman jika kita duduk di akar-akarnya yang kekar. Di sebelahnya ada lapangan hijau yang asri dan dikelilingi banyak bunga yang cantik rupawan,” bisik bu Desi tepat di daun telinga Dodi.

“Hehehe..., ibu...” Dodi tersipu malu karena ketahuan tidak menyimak pelajaran.

Ibu Desi mengelus-elus kepala Dodi dengan lembut. Kemudian melanjutkan materi selanjutnya.

“Di kehidupan sehari-hari, peta sangat berguna dalam kehidupan kita. Contohnya..,” perkataan bu Desi langsung dipotong oleh Tania.

“Contohnya saja ketika sesat di jalan.” Ekspresi Tania tidak kalah bangga dari Dini.

“Betul sekali. Ketika tersesat di jalan, kita bisa menggunakan peta sebagai penunjuk arah jalan. Bahkan sekarang peta telah tersedia dalam bentuk digital.”

“Seperti google map ya, bu?” kata Dini menunggu kepastian.

“Iya. Nah, bentuk sistem peta digital ini dikenal dengan sebutan SIG,” balas bu Desi.

“Apa lagi tuh, bu?” tanya Fizi keheranan.

“SIG merupan sistem informasi geografis yang mengarahkan gambar tiruan tentang wilayah yang lebih luas menggunakan teknologi. SIG ini mempunyai tiga unsur penting yaitu manusia, pengetahuan, dan komputer.”

“Oh, saya mengerti, bu. Manusia yang mengendalikan. Pengetahuan sebagai dasar terciptanya objek yang diinginkan. Kemudian komputer sebagai alat bantu terciptanya objek baru yaitu peta modern atau peta digital.” Tania menjawabnya dengan ceria dan bersemangat.

“Tepat sekali.” Rasa senang dan bangga membekas dari wajah bu Desi yang di beberapa bagiannya sudah tercipta kerutan.

Dering bel tanda istirahat pun berbunyi.

“Ibu senang sekali melihat para generasi muda antusias dalam menerima ilmu. Mohon dipertahankan, ya.”

“Ibu Desi Ngariyanti, senang berkenalan dengan anda. Saya harap kita semua bisa bertemu di pembelajaran selanjutnya.” Dini sigap berdiri serta melontarkan rasa senang dan hormat kepada wanita yang lebih mirip omanya.

Ibu Desi membalas dengan senyuman. Kemudian keluar dari kelas.

# # #