(Wulan Sardiana/MA KMI Diniyyah Puteri)

 

Butiran embun pagi jatuh dalam kelopak daun kehidupan. Hanya ada kelengangan. Kendaraan sedang dipanaskan si pemilik dalam garasi masing-masing. Hingga menidurkan sejenak jalan raya yang seolah tak pernah tidur. Namun langkah kaki dua pasang sepatu telah berdiri bangga untuk menjalankan tugas rutinitasnya. Itu semua demi nama keikhlasan dan kecintaan.

Dengan tiupan nafas, ia baca Bismillah untuk memulai pekerjaan hariannya. Ia tersenyum ramah kepada seluruh makhluk yang sudah terbangun dari tidur malam. Menggambarkan hatinya yang mekar, atas anugerah yang diberikan yang Maha Kuasa untuk bisa kembali menikmati hidup. Pak Ganteng terlihat gagah bersama seragam kebanggaannya.

Dari namanya saja timbul rasa senang. Sebenarnya siapa yang tidak mengenal Pak Ganteng. Namun melihat wajahnya itu yang menjadi tanda tanya banyak orang. Maka jatuhlah sapaan aman itu, nan tentunya menjadi panggilan akrab dan sayang bagi sebagian orang yang mengenalnya.

Read more: TERIMA KASIH

(Sartika Suryadinata/MA KMI Diniyyah Puteri)

 

Sore begitu cerah. Rania tampak bahagia. Dari tadi ia tak henti-hentinya tersenyum, sembari matanya terus memandang langit biru nan mempesona. Burung-burung terbang dengan riangnya. Sepertinya alam pun ikut berbahagia menyambut datangnya bulan Ramadhan. Begitu juga dengan Rania. Ia sudah tak sabar ingin merasakan puasa pertamanya di asrama.

“Rania. Kita ngumpul di asrama sebentar.” Suara Dara sang ketua asrama, menyentakkan lamunan Rania. Ia, Sallmy, Nadia dan Dea bangkit dari kursi yang diduduki dan berjalan menuju asrama.

“Aku mau ngomongin sesuatu, harap pasang telinga dan denger baik-baik,” ucap Dara.

“Iya…, cepet aja. Aku banyak kerjaan nih,” balas Dea cemberut.

“Gini… Seksi kesenian dari OSIS ngadain program sahur berdendang dan asrama kita dapat giliran hari ke 2 Ramadhan. Ntar akan dipilih asrama mana yang terbaik,” lanjut Nadia menjelaskan.

“Apa-apaan tuh. Aku ogah capek-capek bangunin orang,” jawab Dea dengan wajah ketus.

Read more: SAHUR BERDENDANG

(Nesa Maharani/MA KMI Diniyyah Puteri)

 

            Sudah 1 bulan aku berada di sini.  Menginjakkan kaki dan menyesuaikan diri untuk hidup di sebuah pondok pesantren. Tapi…. tak sedikit pun kabar terbisik di telingaku tentang Ibu. Aku adalah anak tunggal, ayahku sudah tiada. Sehari-hari hanya ibulah tulang punggung keluarga. Nenek dan kakekku tinggal di seberang pulau sana.

            Jujur, aku sangat sedih dan kadang aku iri dengan teman-temanku yang selalu dijenguk tiap minggu dan paling kurang ditelefon oleh keluarganya. Semua itu berbeda denganku. Sejak pertama masuk ke pondok ini, tak sedikit pun ibu menghubungiku.

“Apakah ibu tak merindukanku? Apakah dia sudah lupa dengan anaknya ini? Kenapa ia menjadi berubah?.. Oh Tuhan… mana janjinya dulu?” Begitulah suara hatiku apabila aku terbelenggu dalam kesedihan mengingat ibu.

Read more: SURAT CINTA DARI IBU

(Wulan Sardiana/MA KMI Diniyyah Puteri)

 

“Pa, Sofi mau jalan-jalan!” desak Sofi kepada papanya.

“Nak, papa belum bisa, kita harus mencari uang untuk bayar cicilan mobil,” jelas papa.

“Tapi, Pa. Kita sudah lama tidak berlibur, masa dari kemarin papa selalu bilang tidak bisa,” komentarnya lagi kesal dan berlalu pergi.

Marah dan kecewa tumpang tindih dalam setiap langkah kaki Sofi menuju kebun belakang. Terlihat olehnya sesuatu yang mengasyikan untuk dimakan. Dalam kebun yang tidak terlalu luas itu terdapat macam jenis buah-buahan. Diantaranya ada pohon jambu air, pepaya, jambu biji, sawo, nanas, singkong, kelapa yang pohonnya setinggi tiang rumah dan banyak lagi yang lainnya. Haus dahaga tiba-tiba saja meluncur hadir dalam kerongkongan Sofi. “Mengambil kelapa muda pasti sangat mengasyikkan,” pikirnya.

Arah mata Sofi pun tak luput berpaling melihat hijaunya buah pohon kelapa ynag berbuah lebat. Kayu yang tidak begitu jauh jaraknya ia ambil guna mengambil kelapa yang kelak akan mendatangkan kesegaran dalam setiap rongga-rongga mulutnya. Suara gesekan pun terjadi. Tidak memerlukan waktu yang lama, hanya sekitar 8 menit terdengar suara hempasan kelapa yang terjun dengan kecepatan kilat.

Read more: LIBURAN

(Qurrata Aini/Santri Diniyyah Puteri)

 

Angin berhembus sepoi-sepoi.  Kami asyik menyantap sate madura ditambah lontong sambil melihat matahari tenggelam dan kapal-kapal yang merapat ke pinggir laut. Makan sehabis berenang memang rasanya enak sekali. Kulirik Tante Nita yang sedang mengangkat HP-nya. Dering tanda panggilan masuk baru saja berbunyi.

“Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun..!” seruan tertahan itu membuat kami semua tersentak kaget. Ibuku menghentikan suapan makannya, begitu pula ayahku. Diikuti kedua sepupuku Sasha dan Yahya, adikku Kikan dan aku. Kami semua memandang ke arah Tante Nita. Siapa yang...?

“Razi.. meninggal habis terapi..” Tante Nita menutup percakapan di handphone-nya dan mengabarkan berita duka itu. Nala yang baru berumur 3 tahun tetap asyik mengambil lontong dengan tangannya yang belepotan bumbu sate.

Read more: DUA NYAWA