By. Zulfikri, S.Th.I, M.Hum
Dalam membangun peradaban, manusia mengaktualisasikan dirinya dengan saling berintekrasi dan bekerjasama, bahkan berlomba-lomba dalam mencari kebaikan. Sebagian orang sudah tidak peduli lagi dengan nilai-nilai etika dan kemanusiaan, sehingga dalam menjalankan kehendak dan kebebasan hidupnya telah lupa dengan keterbatasanya dan kelemahan dirinya. Di sisi lain, beberapa praktik agama (agama senantiasa memberkan ajaran tentang suatu kehidupan etis) yang sedianya berupaya memberikan terapi terhadapa patologi sosial, malah memberikan suatu jalan alternatif untuk menghindarkan manusia dari hal-hal yang dapat memecah belahkan umat manusia, diantara akhlak yang mahmudah yang diajarkan Rasul yaitu dengan adanya sifat pemaaf, dan kemudian aplikasikan denfan sikap bersyukur.
Al-Qur’an telah memeberikan suatu kerangka nilai dan aturan yang dapat menyelamatkan manusia dari berbagai perbuatana yang tidak terpuji. Terkait dengan maaf, sedikit banyaknya ada beberapa ayat yang menerangkan tentang maaf tersebut, ini terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 37 yaitu : “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya, sesungguhnya Allah, Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al-Baqarah : 37).
Ayat itu menerangkan bahwasanya Allah Swt Maha Penerima taubat seorang manusia jika benar-benar ia bertaubat, jadi disimpulkan bahwa Allah maha penerima taubat atau bisa dikatakan dengan pemaaf, jadi sikap pemaaf ini sebenarnya telah diajarkan oleh yang menciptakan manusia yaitu Allah Swt. Dalam sehidupan sosial, manusia tidak terlepas dengan namanya berbuat salah, hal ini dari zaman dahulu hingga detik ini merupakan suatu hal yang lazim, dari itu bagaimana kita bisa menyikapinya untuk bisa berubah kearah yang lebih baik dengan mengahadirkan sifat-sifat mahmudah diantaranya sifat maaf tadi, hal ini berdampak besar bagi akhlak atau pribadi seorang muslim, selain Allah lebih besar mencurahkan Rahman dan Rahimnya kepada manusia, juga contoh kecilnya dalam kehidupan sosial masyarakat akan setidaknya dihormati dan dihargai, selain itu seperti dosa-dosa, rasa dengki, atau yang tidak baik menjadi berkurang. Dengan demikian seorang yang memilki sifat pemaaf telah menjalankan salah satu perintah-perintah kebaikan untuk menjaga kestabilitasan dalam bermasyakat yang dititahkan oleh Allah kepada Nabi, dan Nabi kepada umatnya.
Selanjutnya setelah mengaplikasikan sifat pemaaf dalam kehidupan seorang mukmin, mestinya dalam diri mukmin itu ada rasa syukur kepada Allah Swt terhadap apa yang dilakukan selama itu baik. Bersyukur mendorong kita untuk maju dengan antusias, tidak ada yang meringankan kehidupan seorang mukmin selain bersikap syukur. Bersyukur akan senantiasa menuntun kita kearah yang positif. Dalam berbagai ayat ada yang menerangkan tentang sikap bersyukur ini diantaranya dalam surat Ibrahim ayat 7 : “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih".(Q.S. Ibarahim : 7)
Dalam ayat ini Allah mengingatkan untuk senantiasa untuk bersyukur atas segala nikmat dan memberi balasan yang setimpal bagi yang mengingkarinya. Syukur berarti ucapan, sikap, dan perbuatan terima kasih kepada Allah Swt dan pengakuan yang tulus atas nikmat dan karunia yang diberikan-Nya.
Rasa syukur kita dengan yang kita miliki, akan mengundang nikmat yang lebih besar. Sebaliknya sikap negatif terhadap apa yang diberikan Allah akan berdampak buruk kepada kita, dan bisa menambah kualitas iman seorang mukmin. Juga Allah menjadikan tambahan nikmat-Nya diantara nikmat itu ialah rizki, tergantung kepada kesyukurannya, dan tambahan dariNya adalah tambahan yang tiada batas, sehingga rasa syukur itu sendiri juga tiada batas. Allah juga menjadikan banyak pahala bergantung kepada kehendak-Nya. Sebagaimana dalam ayat Al-Qur’an dala surat Al-Iman : 145, yang artinya : ”Dan Kami akan membalas orang-orang yang bersyukur. (Q.S. Al-Imran : 145). Jika dilihat lebih luas dari sisi lain (agama), sikap memaafkan dan syukur telah diajarkan segenap orang-orang besar, baik itu muslim ataupun nonmuslim, seperti Sidharta Gautama, Mahatma Ghandi, Para Nabi dan Rasul sebelumnya.Wallahu’alam bi shawwab.