Sobat pernah ngerasain kecewa gak sih? Pastinya pernah donk. Entah itu kecewa sama teman, kakak, adek, ataupun lainnya. Nah, bagaimana rasanya? Mm… pasti perpaduan antara sedih, tidak percaya, dan sedikit marah. Iya gak? Nah sobat, saya mau nanya nih. Apa sih, yang kalian lakukan kalau kecewa? Ada yang banting-banting barang gak? Saya harap gak ada ya.
Kalau kita kecewa, rasanya pasti pengen nangis dan mengunci diri di kamar. Tapi, itu kita lakukan kalau kecewa dengan orang lain kan? Nah, bagaimana dengan kecewa pada diri sendiri? Ada yang pernah merasakannya? Kecewa pada diri sendiri itu seperti gini nih. Anggap saja, suatu hari kita pergi lomba olimpiade tingkat kota. Nah, pemenang utamanya akan mewakili kota dalam tingkat Sumbar. Tentu saja orang tua kita yang mengetahui hal ini sangat bangga. Tapi, kita tidak menyukai bidang Matematika, walaupun kita punya bakat di sana. Kita lalu menyepelekan lomba tersebut dan malas mengikuti latihannya dengan seribu alasan. Nah, ketika kita tidak menang, mungkin bagi kita hal itu biasa saja. Karena dari awal, kita memang tidak berminat mengikuti lomba tersebut. Tapi, ketika orang tua kita mengetahui hasil dari lomba tersebut, mereka merasa sangat sedih. Nah sob, walaupun kita tidak sedih, tapi karena melihat orang lain sedih disebabkan berharap pada kita, dan kita tidak bisa mewujudkannya, itulah yang disebut kecewa pada diri kita sendiri.
Setiap orang mungkin akan berbeda dalam menyikapinya. Mungkin ada yang menangis, berteriak dan sebagainya. Tapi, sebenarnya sob, hal yang harus kita lakukan adalah intropeksi diri. Jika kita diberi amanah dan kepercayaan yang tinggi dari orang-orang di sekeliling kita, kita harus menjaganya. Demi mereka, kita harus menekan ego kita.
Tapi, jika kita memang sangat menderita menjalani itu, maka yang harus kita lakukan adalah berbicara dari hati ke hati kepada orang tua kita, ataupun kepada guru kita. InsyaAllah, mereka lama kelamaan akan mengerti. Karena pada dasarnya orang tua itu sayang kepada kita. Bahkan, tak jarang orang tua masih menganggap anaknya adalah anak kecil yang masih butuh bimbingan dari dia. Makanya, kita harus buktiin kalau kita bisa berdiri sendiri di jalan yang kita pilih. (Adillah Andika Nasir/MA KMI Diniyyah Puteri)