Beberapa waktu yang lalu, Pramuka kami hiking ke daerah Singgalang. Hmm, seru banget. Dimulai dengan kemah yang dibarengi dengan jurit yang super tegang dan pagi-pagi sekali kami melakukan hiking. Kami berangkat dengan mobil sekolah karena arena jelajah kali ini lumayan jauh dan belum pernah kami jelajahi sebelumnya, sesuai yang dikatakan kak Joni Aswan selaku Pembina Pramuka. Merinding memang, karena hari ini berawan dan untungnya kemungkinan akan hujan kecil sekali, soalnya gak ada awan hitam yang menandakan hujan akan turun. Kami turun di persimpangan tiga dan mendengarkan dengan seksama apa saja yang perlu diperhatikan saat perjalanan hiking berlangsung.
Jelajah kali ini diawali dengan tebak-tebakan dan seperti biasa yang bisa menebak duluan, dia berada di posisi terdepan rombongan jelajah. Sanggaku nomor dua duluan. Rute awal masih di jalanan aspal dengan tanda cat pilox sebagai penunjuk jalan yang telah diberikan kakak Pramuka. Diawali dengan jalan menanjak yang bikin naik betis, lalu beberapa menit kami berjalan, akhirnya kami pun dihibur dengan jalanan menurun.
Huh, ternyata jalanan menanjak curam lagi dan tanjakan ini lebih parah dibandingkan tanjakan awal tadi. Sungguh, kehausan dan kelaparan pun segar mendera. Aku dan kawan-kawan mengeluarkan bekal yang diberikan kakak pramuka dan sayangnya makanan itu ketinggalan, sehingga hanya air yang bisa menyumpal kelaparan ini.
Hingga akhirnya kami menemukan tanda masuk ke dalam semak. Dan hatiku pun senang kalau akhirnya kita mulai memasuki hutan. Tahap pertama yang kulakukan yaitu mencari kayu sebagai tongkat untuk penahan badan. Aku berhenti sejenak untuk memastikan pakaian kupakai sudah masuk sepenuhnya ke kaus kaki panjangku, agar tidak ada hewan hewan seperti pacet menggigit. Ukh, Hewan yang menggelikan. Lalu kunaikkan tasku agar tidak terlalu basah saat melewati sungai. Setelah semuanya kuperiksa, kususul teman-teman yang sudah duluan jalan.
Suasana hatiku amat senang tak karuan. Tak kusangka kalau yang kulihat ini benar-benar hutan, bukan gambar yang selama ini kulihat di laptop. Jalanan sekarang becek dan penuh lumpur merah dan kuikhlaskan sepatuku ini untuk bernostalgia dengan lumpur yang basah ini. Semakin ke bawah kami berjalan, semakin besar batu-batu yang harus dilewati. Akhirnya aku mendengar suara riak air yang sangat deras. Tak sabaran seberapa besar sungainya dan seberapa dingin airnya.
Ternyata kakak pramuka sudah menunggu di sana, di anak sungai kecil. Di posko morse, aku dites duluan. Sejujurnya aku belum terlalu menguasainya dengan baik. Hukumannya ya benamkan badan sampai pinggang. Wa…., dingin benar sob. “Uh ini belum seberapa,” batinku. Dan setelah semua anggota sanggaku menjalani tes, kami melanjutkan perjalanan. Menurutku bunyi air kali ini benar-benar sungai yang besar. Ya, Semangatku bertambah membara.
Yah, kurasa ini sungainya, tapi hatiku belum puas, karena belum menyerupai hutan-hutan kayak di laptopku. Posko ini posko kreativitas. Menggunakan apa saja yang terlihat untuk hiasan, sebagai tanda kalau kita udah ikut hiking. Akhirnya kami memilih ujung bambu dan diselipkan ke lipatan lilit kami. Uh… lumayan lah, gak ribet. Haha..
Lalu kami lanjutkan perjalanan, aku semakin penasaran suara deras air sungai ini semakin keras dan kuyakin yang tadi itu belum sungai besarnya dan ternyata benar dugaanku. Aku melihat sungai yang penuh dengan batu-batu basar sebagai posko terakhir kami. Ya… ternyata surprise dari kakak pramukanya. Disini hanya posko main main. Kami harus menyiram teman-teman dengan air sungai yang dinginnya bukan main. Aku senang, ini setidaknya hampir mirip dengan koleksi foto hutan yang ada di laptopku.
Aku melihat kak Ade, Kakak Pembina Pramuka yang sebenarnya guru Matematikaku di sekolah, melanjutkan perjalanan ke atas sungai. Aku pun mengajak teman-teman untuk ke sana. Dan semua setuju dengan pendapatku. Akhirnya kami mengikutinya. Aku memperhatikan pohon-pohon di sekitarku. Ada beberapa yang kutau. Ada pohon rotan, beringin, surian, kulit manis, dan pohon-pohon besar yang tak kutahu namanya. Dalam hatiku berteriak riang “Ini baru benar-benar hiking”.
Kami berjalan di sungai yang dalamnya tak teratur. Aku dan teman-teman kadang sering jatuh saat menginjak batu batu yang kukira gak licin. Uh… terantuk sudah. Agak memar dan biru sedikit. Tapi, kalau hati ini senang menjalani hiking, rasa sakit ditusuk durilah, dihantam batu-batu segede apapun, bisa mengalahkan rasa sakitnya alias gak kerasa lagi (woalah.. gombal). Salah satu temanku terlihat mengeluarkan kameranya dan memotret apapun yang menurut dia menarik. Kami pun minta potret setidaknya jadi kenang-kenangan.
(Nadia Salami/MA KMI Diniyyah Puteri)