(Nesa Maharani/MA KMI Diniyyah Puteri)

 

            Sudah 1 bulan aku berada di sini.  Menginjakkan kaki dan menyesuaikan diri untuk hidup di sebuah pondok pesantren. Tapi…. tak sedikit pun kabar terbisik di telingaku tentang Ibu. Aku adalah anak tunggal, ayahku sudah tiada. Sehari-hari hanya ibulah tulang punggung keluarga. Nenek dan kakekku tinggal di seberang pulau sana.

            Jujur, aku sangat sedih dan kadang aku iri dengan teman-temanku yang selalu dijenguk tiap minggu dan paling kurang ditelefon oleh keluarganya. Semua itu berbeda denganku. Sejak pertama masuk ke pondok ini, tak sedikit pun ibu menghubungiku.

“Apakah ibu tak merindukanku? Apakah dia sudah lupa dengan anaknya ini? Kenapa ia menjadi berubah?.. Oh Tuhan… mana janjinya dulu?” Begitulah suara hatiku apabila aku terbelenggu dalam kesedihan mengingat ibu.

Setiap detik, tetes air mata selalu membasahi pipiku jika aku mengingat tentang ibu. Telah kucoba beberapa kali menghubungi nomornya, tapi tak ada yang aktif satu pun. Hingga semua itu menumbuhkan rasa buruk sangka pada diriku. Aku sangat khawatir dengannya. Aku serasa hidup sebatang kara di dunia ini, karena hanya ibulah orang yang paling dekat denganku. Tapi ibu juga jahat padaku, karena tak menepati janjinya yang telah d ikrarkannya sebelum aku masuk ke sekolah ini.

Nenek dan kakekku kurang menyukaiku, karena ia menginginkan cucu laki-laki. Sehingga ibu tak betah di sana, melihat anaknya seperti tak di terima di keluarganya sendiri. Dan Ibu berusaha mencari pekerjaan dan kontrakan di seberang pulau kelahiranku. Oleh sebab itu, sekarang aku dan ibu terdampar di sini. Jika aku ingat masa laluku, semuanya hanya bisa menyakitkan hatiku. Jika teman-temanku bercerita tentang keluarganya yang sangat harmonis, aku menjadi minder dan berusaha untuk tidak mendengar cerita itu.

* * *

Siang itu, saat terik matahari menghangatkan bumi pertiwi ini, aku dan teman-temanku sedang makan siang di asrama. Kemudian ada pengumuman dari ruang informasi asrama.

“Sonya Susanti from Khadijah dormitory please come to information room to meet your mother”  kata penjaga ruang informasi asrama.

“Ha? Alhamdulillah ibuku datang…. hore……. Ibuku datang….. ternyata ibu masih ingat denganku…..  hore….”. Teriakku histeris dengan penuh kegirangan. Kupasang kerudung dan kaos kakiku, lalu aku pun berlari dengan semangatnya menuju ruang informasi. Dan setiba di sana kutengok depan-belakang, kiri-kanan, tapi tak kujumpai juga ibuku. Kemudian aku bertanya kepada penjaga ruangan informasi.

“Buk, boleh numpang nanya?” ucapku.

“Ya ada apa nak?” sahut ibu itu.

“Apa benar ibu Sonya tadi ke sini Buk?” ucapku dengan penuh penasaran.

“Ooo Sonya, iya nak tadi ibumu datang ke sini, coba lihat di ruang tunggu,” terang ibu itu.

            Kemudian, aku pun berlari ke ruang tunggu… tapi tetap tak kujumpai juga ibuku.. dan tiba-tiba…

“Sonya….”panggil tanteku (mama sepupuku yang mengunjungi anaknya yang satu sekolah denganku).

“Eh Tante… pa kabar?” sapaku sambil memberi salam.

“Baik nak, Sonya sendiri gimana?” tanyanya balik.

“Alhamdulillah baik juga,” terangku.

“Ooo… iya nak tante hampir lupa ngasih tau, kalau ibumu tak bisa mengunjungimu bahkan menghubungimu. Karena dia lagi dinas ke luar kota. Ibumu cuma nitipin surat untukmu. Ini dia suratnya!” terang tante itu sambil menyerakan surat itu padaku.

“Aku gak mau surat, aku maunya ketemu ibu, aku juga pengen pergi jalan-jalan ke pasar atau ke tempat wisata lainnya seperti teman-temanku,“ teriakku di depan khayalak ramai, sehingga banyak orang yang melirikku.

Tanteku pun berusaha memperbaiki suasana. Aku sebenarnya malu menangis seperti anak kecil seperti yang kulakukan itu, tapi saat itu pikiranku tak menentu. Meskipun tanteku membujukku untuk pergi jalan-jalan dengannya seperti keinginanku semula, namun usahanya itu tak berhasil. Karena aku bisa dibilang orang yang keras kepala. Yang terbayang di benakku hanyalah wajah ibu datang menjemputku.  

            Rasa kecewa pun datang melukai hatiku. Realita yang tak sesuai dengan harapanku semula. Walaupun ibu nitipin surat, tapi aku tak mau surat, aku maunya ketemu ibu.

“Kenapa? Kenapa ibu pergi gak bilang-bilang aku dulu? Apa ibu tak sayang lagi denganku?” ucapku di dalam hati.

            Dan kemudian aku tertegun sendiri. Sebenarnya aku sangat merindukan ibuku, tapi mengapa rasa rindu ini harus menimbulkan kecewa? Hatiku menjadi tak tenang dan rasanya semangatku gugur seketika itu juga. Awalnya aku tak mau membaca surat itu. Karena yang ada dalam pikiranku hanyalah ibu sudah melupakanku dan tak lagi merindukan anaknya ini. Akhirnya dengan bujukan tanteku, timbullah rasa penasaran terhadap isi surat itu dan akhirnya kubaca.

“Dear Sonya anakku tersayang,

Maafkan ibu yan nak. Ibu tak bisa mengunjungi bahkan menghubungimu. Karena sekarang ibu lagi laksanain tugas di luar kota nak. Di sini daerahnya terpencil dan gak ada jaringan. Sehingga komunikasi antara kita harus tertunda dulu. Maafkan ibu ya nak. Sebenarnya ibu sangat merindukanmu, tapi keadaan yang memaksa begini, sehingga waktu harus memisahkan kita. Mungkin Sonya marah sama ibu dan menganggap ibu gak nepatin janji, tapi ini semua ibu lakukan demi kebaikanmu, nak … Karena kamu tahu sendiri kan, jika ibu tak laksanain pekerjaan ini, ibu tak bisa membiayai sekolahmu dan biaya kehidupan kita. Ibu harap kamu mengerti keadaan ini. Semua ini ibu lakukan hanya untuk kebaikanmu. Ibu janji jika tugas ibu telah selesai, ibu akan segera mengunjungimu. Dan sekarang pesan ibu kamu harus rajin-rajin belajar ya nak… dan jaga kesehatanmu… Maafkan ibu… Ketahuilah nak, ibu sangat menyayangimu. Ibu akan berjuang di sini untuk kebahagian kita, do’akan ibu ya, agar ibu bisa  mengatasi semua ini.” Begitulah isi suratnya.

Dan terenunglah diriku sejenak. Keegoisan yang semula bertubi-tubi pada diriku, sekarang menjadi gugur dan menimbulkan rasa penyesalan. Ibuku telah berjuang untuk membiayai kehidupanku, banting tulang dengan peluh yang membasahi tubuhnya. Panas hujan tak dihiraukannya, segala problem yang menerpa dihadapinya dengan penuh kesabaran dan keikhlasan untuk mendapat ridho Rabb-nya.

Dengan isak tangis, aku menyadari semua ini. Aku tak mungkin mementingkan egoku yang tak jelas ini, sementara ibuku harus berjuang untuk membiayaiku. Aku harus mikirin bagaimana susahnya ibuku nyari uang. Sekarang yang hanya bisa kulakukan hanyalah dengan belajar sekuat tenagaku dan mengumpulkan beragam piala untuk ibu. Aku gak boleh main-main dalam belajar, karena biaya sekolah ini sangat mahal. Dan aku harus bisa buktiin ke nenek dan kakek, kalau gadis yang dibuangnya dahulu, akan menjadi seorang yang sukses dengan kerja keras dan usaha yang tiada henti.

# # #