(Azzahra Rania Inysa/MTs DMP Diniyyah Puteri)

 

Matahari menerobos masuk ke jendela kamarku yang sedikit terbuka. Aku membuka mata perlahan. Panas seketika, saat mataku beradu dengan cahaya kekuningan yang menerobos dari jendela kamar. Aku berkedip-kedip, mencoba beradaptasi dengan situasi. Sepertinya aku terlalu lelah, hingga tadi malam tidur nyenyak sekali.

Aku meregangkan badan. Aku benar-benar seperti seseorang yang sudah tua. Lihatlah sekarang diriku, mengenaskan sekali. Aku sedang duduk di atas kasur yang sudah berantakan dengan rambut yang sudah acak-acakan. Sip, aku memang benar-benar akan dicap sebagai orang gila di pagi hari ini.

Sebuah suara menginterupsi diriku. Apa terlalu pagi untuk memulai interaksi? Huff.

“La, bangun lagi. Jangan tidur terus, udah pagi!” Suara itu sepertinya berasal dari bawah dan kupastikan ayahku sedang berteriak.

“Iya, udah bangun, yah. Tapi jangan teriak-teriak dong.” Aku balas berteriak, moodku langsung kacau. “Bisa tidak pagi-pagi itu tidak perlu berteriak?” Batinku dalam hati. Tetapi walaupun begitu, tetap saja aku menuruti kata-kata ayahku.

Aku lihat ayah masuk ke dalam kamarku. Tidak terasa, waktu sudah berlalu sangat cepat. Badan ayahku yang dulu tegap sekarang menjadi bungkuk. Wajahnya juga, sudah mulai berkerut.

“Ada apa nih liat-liat? Ayah tau kok, ayah itu masih ganteng kan?” Ayah bertanya kepadaku dengan nada bercanda.

Ayolah, aku sedang tidak ingin bercanda. Aku hanya mencibir ayah. Pura-pura tidak peduli.

“Ayah makin tua, hehehe.” Aku berkata seperti itu dengan nada garing, antara ingin bercanda dan berkata serius.

“Anaknya saja sudah besar.” Ayahku menjawab disertai dengan senyuman.

“Maksud ayah apa? Badanku, apa umurku, yah?” Aku memasang wajah seperti anak kecil yang sudah kehilangan sebuah balon.

“Aaa…!” Baru saja ayahku mau menjawab, terdengar teriakan ibu. Aku segera menghela napas. Asal kalian tau saja, ibuku punya semacam penyakit jiwa. Aku tidak tau namanya apa. Ayah tidak pernah ngasih tau tentang penyakit ibu. Lagi pula aku tidak bertanya banyak tentang ibu. Pernah suatu ketika aku bertanya tentang penyakit ibu, mata ayah langsung redup. Dengan kejadian seperti itu, kupastikan aku tak akan bertanya lebih banyak.

“Sudah ya, ayah ada urusan. Sabila pasti tau urusan ayah,” ucap Ayah.

Aku mengangguk. Ayah pergi dengan membawa kesedihan. Kesedihan yang sangat mendalam. Ah, terlalu rumit masalah keluargaku. Aku membereskan kasurku yang berantakan, dan segera bersiap untuk mandi.

Selesai mandi, aku berganti baju sekolah. Bersiap-siap untuk mencari ilmu. Jam sudah menunjukkan setengah tujuh, sebenarnya sebentar lagi aku akan masuk sekolah, tapi ah sudahlah, biarkan saja. Rasanya hari ini benar-benar malas untuk sekolah, mungkin karena masalah tadi. Aku melihat sekeliling kamarku, semuanya sudah bersih. Aku lihat diriku, sudah rapi. Oke, sudah siap.

Kulangkahkan kakiku keluar dari kamar. Ibuku masih berteriak dan pastinya ayahku sedang menenangkan ibuku. Aku tutup pintu kamarku dengan perlahan. Kakiku menuntunku untuk turun dari tangga. Satu persatu kakiku turun. Dan kulihat ibuku sedang menatapku dengan pandangan yang tidak aku mengerti. Aku ngeri sendiri melihat ibuku. Bayangkan saja, rambut berantakan, pakaian sudah amburadul. Kedua tangannya sedang dipegang oleh ayahku. Pegangannya sangat erat. Astaga dan lihat! Isi rumah sungguh berantakan. Vas bunga pecah. Sulit untuk digambarkan secara jelas.

Ayah segera berkata kepadaku dengan suara keras, “Cepat pergi dari sini, La. Mau kena masalah?” Aku mengganguk, tanda bahwa aku mengerti. Segera kulangkahkan kakiku keluar rumah, menuju sekolah.

Jam sudah menunjukkan tujuh lewat seperempat. Benar-benar telat. Gerbang sudah dikunci. Aku hanya menatap nanar. Mataku mencari sekeliling, dan kudapatkan sebuah tembok kecil dan di depannya ada pohon besar dan sangat tinggi yang menjulang ke atas. “Memang lebih baik manjat,” batinku dalam hati.

Aku segera memanjatnya dengan lihai, dan segera berlari menuju kelas. Pelajaran pertama sudah dimulai, semua belajar dengan khidmat. Ah, sepertinya aku benar-benar akan menjadi pengganggu hari ini.

Aku berjalan dengan kaki yang dihentakkan, agar terdengar sampai ke dalam kelas. Guru yang sedang mengajar tiba-tiba berhenti menulis, lalu ia memicingkan mata dan menajamkan pendengarannya. Teman-teman melihat ke arah pintu. Ada yang menyeringai jahat, sepertinya senang karena aku telat. Ada juga yang bersimpatik, sepertinya kasihan denganku. Aku membuka pintu, menghela nafas. Badanku penuh keringat, berpeluh. Maklum, aku habis lari-lari.

“Kenapa kau telat terus di pelajaran saya?” Guru itu berkata dengan aksen Bataknya yang kental.

“Maaf, pak. Ada sedikit masalah.” Aku berkata dengan tenang, sudah kuperkirakan memang bakal jadi seperti ini.

“Berdiri di depan lapangan, hormat ke bendera. Berdiri di sana sampai istirahat.”

Hei, apakah tidak keterlaluan? Aku ini seorang gadis!

“Kenapa masih berdiri di sana? Cepat pergi!” Begitulah pengakhiran kata-katanya, masih dengan aksennya Bataknya yang kental.

Kalimat-kalimat sindiran, saling bisik-bisik. Entahlah apa yang akan terjadi saat istirahat.

Sekali lagi, aku menghentakkan kakiku. Dengan wajah sebal, aku pergi ke lapangan sekolah untuk menjalankan hukuman yang menurutku sangat keterlaluan itu. Benar-benar hari yang buruk.

Sekolah sudah usai. Benar kataku, sehabis hukuman, aku disindir habis-habisan oleh teman-temanku. Harga diriku benar-benar dipermainkan hari ini. Aku pulang sekolah dengan wajah kusut, tak sabar ingin menceritakan kejadian ini pada ayah. Sesampainya di rumah, aku langsung membanting pintu. Dan kurasakan orang-orang yang berada dalam rumah tersentak.

“Assalamualaikum, ada orang?” Sebenarnya ini pertanyaan yang sangat bodoh, ah otakku memang kacau.

Mendadak suasana di rumah lengang. Dahiku berkerut, ganjil sekali. Kenapa tiba-tiba lengang? Seperti ada tangan jahil saja yang menekan tombol mati, sehingga semuanya mendadak lengang. Apa yang terjadi? Aku bergidik ngeri. Perlu kalian ketahui, seharusnya kalian lebih takut saat di sekitar kalian mendadak senyap, hening. Bukannya takut saat mendengar suara cekikikan.

Aku keringat dingin, membayangkan hal-hal aneh yang akan terjadi pada ibu. Tunggu dulu, ibu….Astaga, ibu!

“Ayah…ibu!” Aku berteriak dengan suara serak. Air mata sudah berjatuhan di pipiku. Aku berlarian ke arah dapur, tidak ada orang. Tetapi, dapur sungguh sangat berantakan. Ada apa ini? Aku berlarian ke ruang kerja, tempat ayah. Namun tetap tidak ada orang, tetapi aku menemukan secarik kertas yang berisikan tulisan,

‘Sesungguhnya tak satu pun yang dapat menandingi keindahan tangan seorang ayah dengan kerja kerasnya. Ayah benar-benar pria yang bertanggung jawab. Ayah… Apakah ayah tidak capek? Kalau jadi ayah, pasti Sabila gak kuat. Sekarang Sabila sadar, Sabila benar-benar merasakan beban ayah, maafkan aku ayah.’

Anakmu, Sabila.                                             

Itu surat waktu aku masa-masa Sekolah Dasar dulu, sudah begitu lama. Pantasan saja sudah lusuh kertasnya. Aku membalikkan kertas itu, dan di kertas ada sebuah jawaban!

Terimakasih, La. Makasih ya, anakku.’ Aku menitikkan air mata, terharu.

“T-to..!! Hmmp!!” Seperti suara ayah. Aku ikuti suara itu. Dan aku rasa suaranya berasal dari kamar. Makin lama suara itu semakin memelan. Rasa curiga itu semakin tinggi. Aku keringat dingin, kawan.

Kudobrak pintu, dan mendapatkan ibu memegang sebuah benda tajam. Di hadapannya ada sesosok pria tergeletak dengan muka yang sudah seperti dihantam sesuatu, dan perut yang berdarah. Aku terlonjak kaget. Sekarang aku tahu, aku tahu kenapa suasana mendadak hening, aku juga tau kenapa tadi dapur berantakan. Aku akhirnya tau jawabannya. Pahlawanku sudah hilang, benar-benar sudah hilang. Beban yang selalu ia bawa sudah hilang. Dan kurasa aku harus bawa ibu ke Rumah Sakit Jiwa sekarang dan memanggil Ambulance. Sesegera mungkin.

# # #