(Novia Rita/MA KMI Diniyyah Puteri)
Itulah yang diberitakan di koran akhir-akhir ini. Dan inilah kenyataannya. Aku tidak lagi dapat uang bulanan. Memang, uang itu masih dikirim oleh Abak dari kampung, namun jumlahnya tidak mencukupi.
“Runi, maafkan Abak cuma bisa ngirim segitu dulu ya.” Suara Abak bergema diHP bututku. Abak menelfonku setelah uang bulananku dikirimnya.
“Ah, tidak apa-apa, Bak.” Dalam urusan berbohong aku adalah ahlinya, tapi dalam tanda kutip untuk membahagiakan orangtuaku saja. Aku tidak mau membuat mereka bersedih.
“Bagaiman keadaan Abak? Sehat?” tanyaku seperti biasa.
“Kau jangan mengalihkan pembicaraan dulu, Abak tak yakin kau baik-baik saja dengan uang yang hanya sebanyak itu.” Seperti biasa, Abak tidak mempan dengan kebohonganku.
“Kalau Amak sehat, Bak?” tanyaku lagi masih mencoba mengalihakan pembicaraan.
“Runi, Abak dan Amak alhamdulillah sehat-sehat saja, kau sendiri bagaimana?”
Aku berhasil mengalihkan pembicaraan ini, karena aku tidak mau mendengar hal-hal atau berita yang akan membuatku bersedih, walaupun kenyataannya aku sudah tahu berita itu.
“Ah, anak Abak ini selalu sehat di sini,” jawabku,
“Syukurlah kalau begitu, Run. Kau sudah tahu tentang asap yang melanda Alahan Panjang kan?” Abak memulainya lagi.
“Ya Runi tahu Bak,” jawabku memelas.
“Itulah sebabnya uang jajan kau Abak kurangi. Bukan dikurangi, lebih tepatnya terkurangi.”
Ah, asap. Sebenarnya aku sangat prihatin terhadap kampungku Alahan Panjang yang juga membuat dompetku patut ikut untuk diprihatinkan. Namun apalah yang bisa aku perbuat, menyedot semua asap dengan mulutku. Mustahil.
“Memang bagaimana dampaknya, Bak?” tanyaku, sambil menatap keluar jendela kamar kosku, berkhayal bisa melihat Alahan panjang dari sini.
“Ya, gimanalah, Run. Banyak tanaman yang rusak jadinya,” Potong Abak.
Aku merasakan gurat kesedihan di suara Abak.
“Tomat yang baru Abak tanam sudah menghitam daunnya dan batangnya tidak mau tinggi, Run. Sudah beberapa lama, masih juga belum tinggi-tinggi. Belum lagi sekarang musim kemarau panjang, banayak sumur yang kering, jarang hujan.”
Aku membayangkan betapa sulitnya kehidupan ekonomi yang ada di negeri Alahan Panjang saat ini. Padahal negeri kami adalah negeri yang kaya. Tanah yang subur, udara nan sejuk, penduduk nan ramah. Danau saja kami punya 2 buah, Danau Kembar.
“Terus sekarang gimana, Bak. Masalah airnya?” tanyaku prihatin.
“Itulah, Run. Dari ladang kita sungai sangat jauh, kalau dekat pun sungai-sungai sudah pada kering. Jadi untuk mengangkut air, Abak menyewa mobil Pak Syahril,” jawab Abak.
“Keluar uang lagi dong Bak buat nyewa?” Potongku tambah iba mendengar informasi dari Abak.
“Yah mau bagaimana lagi, Run. Kalau tidak sudah mati semua tanaman yang Abak tanam.”
Sebenarnya kami bisa memanfaatkan air danau, tapi ladang kami berjauhan dengan danau.
* * *
Mataku kubuka selebar-lebarnya, namun masih saja mengantuk, hasil bergadang tadi malam. Walaupun sekarang aku masih duduk di bangku SMA, tapi Alhamdulillah aku sudah punya pekerjaan sampingan membuat artikel atau berita di majalah sekolah dan aku juga menerima jasa mengetik. Jadi bisa nambah-nambah uang jajan.
“Ah, pegalnya.” Aku berdiri dari kursi meregangkan badan layaknya seekor kucing.
“Sabar ya butut, kamu memang pahlawanku.”
Butut adalah nama panggilan untuk leptopku yang lumayan eror. Kondisinya parah, maklumlah leptop bekas yang aku beli dengan harga super murah. Kalau dipakai terlalu lama bunyi bak bunyi mesin bajai saja, berisik. Kalau kelamaan dipakai, panasnya minta ampun, walaupun udah pakai kipas.
“Runi…..”
Itu pasti Monalisa. Dengan malas aku menyeret badanku ke depan pintu, dan benar saja itu dia.
“Lama amat bukanya,” cerosos Lisa dan tanpa dipersilahkan ia langsung masuk.
“Ya ampun Run, pasti tadi malam kamu begadang lagi?” Mata Lisa terbelalak menyadari aku tertidur berdiri di depan pintu dengan kantong mata panda yang semakin menghitam.
“Kamu itu ya, Run. Harus jaga kesehatan. Udah disini tinggal sendiri, harus pandai-pandai ngerawat diri,” ceramah Lisa menarikku agar duduk di kursi, lalu ia berlalu ke dapur.
“Lis, tau nggak aku lagi kere tingkat kuadrat nih?” Teriakku, mengeraskan suara agar terdengar oleh Lisa.
“Kalau nasib kamu yang kere aku mah udah tau dari dulu kale…” Jawab Lisa keluar dari dapur menyodorkan segelas teh panas yang terlihat dari asapnya yang mengepul.
“Thanks,” ucapku, sambil meraih gelas lalu meniup-niupnya sebelum diseduh.
“Memang sekarang apa lagi penderitan yang menghampirimu?” tanya Lisa menatapku yang masih dalam keadaan ngantuk.
“Aku kan sudah meminimalisir seminimal-minimalnya pengeluaran uang untuk kehidupan sahari-hari. Nah, masalahnya sekarang uang jajanku masih saja terminimalkan jumlahnya,” keluhku menopang dagu.
“Rumit banget sih kamu ngomongnya. Memangnya kenapa?” tanya Lisa sambil mengambil teh yang telah ia berikan untukku tadi dan meminumnya.
“Kamu tahu kan tentang kebakaran yang menyebabkan beberapa wilayah nusantara ini tertutupi oleh asap?” tanyaku yang dijawab anggukan kepala oleh Lisa.
“Nah yang lebih parahnya kampungku juga termasuk dari salah satu korbannya. Semua tanaman jadi rusak. Aku jadi nggak tenang, harap-harap cemas dengan kondisi keluagaku,” curhatku.
“Memangnya kamu sudah tanya tentang kondisi keluargamu?”
Aku menjawabnya dengan satu anggukan lemah.
“Terus apa kata orang tuamu?” tanya Lisa lagi
“Amakku bilang, kondisinya udah parah banget. Banyak penduduk kampung yang kehabisan akal. Ladang yang tadinya baik-baik saja, namun gara-gara asap tanamannya jadi rusak. Musim kemarau panjang juga menyebabkan minimnya sumber air. Nah, kalau udah gitu, butuh biaya besar untuk perbaikannya. Namun sekarang jangankan untuk memperbaiki ladang, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja susahnya minta ampun. Buktinya saja pasar mingguan yang ada di kampungku hanya ramai dengn penjualnya saja.” Aku mengutip semua kata-kata yang Amak ceritakan kepadaku dan kurang lebih begitulah bunyinya.
“Kamu kan bisa minjam dulu,” saran Lisa sambil menepuk-nepuk sakunya, yang maksudnya aku bisa minjam uang miliknya. Lisa dan Aku sama-sama anak bungsu, jadi sedikit banyaknya kami sama-sama saling mengerti. Bedanya Lisa adalah seorang anak konglomerat yang sibuk dengan pekerjaannya sehingga Lisa tidak sempat untuk terperhatikan. Jadilah Lisa sebagai anak yang kurang kasih sayang orangtua seperti yang selalu ia curhatkan. Sedangkan aku anak seorang melarat.
“Nggak, aku nggak mau pakai uangmu,” tolakku seperti biasa. Aih, kenapa ia malah menawarkan uang? Seharusnya ia kan menghiburku.
“Ayolah, Run. Sekarang ini kamu lagi butuh uang. Jangan sok jual mahal lagi deh.”
Akhirnya kuterima juga uang pinjaman Lisa. Benar apa yang ia ucapkan. Saat ini aku butuh uang, bukan butuh hiburan.
# # #