5-trik-sederhana-menghadapi-bos-yang-sedang-marah

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a bahwa pada suatu saat seorang laki-laki berkata kepada Nabi Muhammad Saw, “Nabi, berpesanlah kepadaku!” Mendengar itu, Nabi hanya berkata, “Jangan marah!” Pria itu mengulangi permintaannya berulang kali. Meski diminta berulang kali, Nabi tetap mengatakan, “Jangan marah!” (HR. Al-Bukhari). Diriwayatkan pula dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw suatu saat bersabda, “Bukanlah disebut orang kuat, orang yang kuat pukulannya. Orang yang kuat adalah orang yang dapat mengendalikan dirinya di kala marah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). “Orang yang kuat pukulannya” pada hadis di atas, maksudnya adalah orang yang mampu memukul dan menjatuhkan orang.

            Dalam pembahasan ini sengaja ditampilkan dua hadis di atas agar kita bisa membuat kesimpulan bahwa kemarahan adalah cara paling mudah untuk merusak hubungan yang sebelumnya terjalin baik. Kemarahan itu pula yang pada awalnya yang menimbulkan api membara, yang bermula dari percikan-percikan kecil kemarahan yang tak segera dipadamkan. Oleh karena itulah, seseorang harus mempertanyakan posisi dirinya berkaitan dengan sifat yang buruk ini.

            Sekarang pertanyaannya adalah, apakah kemarahan telah menguasainya? Atau ia mampu mengalahkan kemarahan dan tidak membiarkan kemarahan itu menjadi raksasa dan setan buta yang menghancurkan hubungannya dengan kerabat, teman, dan relasinya. Apa yang dilakukan seseorang pada saat berhadapan dengan kemarahan akan membantu memperjelas perbedaan di atas. Jangan mengumbar kemarahan dan emosi yang meletup-letup, sehingga bisa saja berujung pada masalah besar hanya lantaran sesuatu yang sepele. Jika merasakan kemarahan telah menguasai diri kita, hingga meluluhlantahkan emosi, maka pusatkan konsentrasi kemarahan itu kepada urusan-urusan yang lain agar kita bisa memindahkan perhatian pada hal-hal yang positif.

            Emosi sendiri terlahir sebagai energi di dalam fisik akibat beban yang berlebihan. Oleh karenanya, kita sebaiknya berusaha memanfaatkan emosi untuk mengarahkannya kepada aktivitas-aktivitas yang memiliki manfaat. Energi itu dapat saja membantu kita untuk mengerjakan sebagian pekerjaan rumah yang berat. Biasakan untuk melatih diri mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berat tapi bermanfaat untuk dapat menyalurkan energi berlebih ini. Ada beberapa kegiatan yang bermanfaat yaitu keluar rumah untuk berolahraga, jalan-jalan, berkebun, atau menata rumah. Setelah melakukan itu, kita akan merasa rileks dan lebih tenang setelah menghabiskan energi yang berlebihan dan emosi yang tinggi dan meledak-ledak. Ada pula sebagian orang yang memakai cara bernyanyi-nyanyi dan bersenandung kecil untuk memecahkan perhatiannya, menumbuhkan sikap pasrahnya, rileks, dan santai dalam dirinya. Dengan cara itu, ia melawan ketakutan dan menghadapi emosi serta mengatasinya secara bertahap. Ada pula yang menggunakan cara dengan bantuan olah spiritual. Ia membuat rileks otot-otot tubuhnya dengan cara yang santai agar dapat menghilangakan ketegangan otot fisiknya. Emosi sendiri berhubungan dengan ketegangan akal.

            Oleh karenanya, ketika dapat terlepas dari ketegangan otot, emosi kita pasti akan mereda. Kita sendiri harus selalu melihat kebaikan dan keburukan seseorang secara seimbang, karena kita tidak boleh melihat seseorang dari sisi keburukannya saja. Hal ini disebabkan karena seseorang manusia merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi antara keistimewaan dan keburukannya atau kekurangannya.

            Hal yang sama juga kita terapkan kepada diri kita. Terkadang timbulnya kemarahan dan emosi disebabkan oleh sesuatu sebab yang spontan saja dan perasaan merasa kurang. Oleh karena itulah, seseorang harus memberikan hak yang dimiliki dirinya. Ia tidak seharusnya menggugurkan atau mengurangi kadar hak orang lain. Ia pun harus harus meneliti sendiri keistimewaan, kehebatan, dan kebaikan yang dimiliki dirinya, sehingga ia dapat membuka kedua matanya sebagai manusia yang berakal. Namun, kita juga harus memiliki sifat rendah hati dan berusaha untuk tidak memiliki sifat takabur alias sombong.

            Semua hal itu diusahakan agar kita bisa meminimalkan dan mengurangi hal-hal yang dapat membuat kita marah. Agar kita mampu menjadi orang yang dapat mengendalikan amarah dan memaafkan kesalahan orang lain. Betapa agungnya orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah, ketika takut, dan saat kaget. Adapun emosi dapat mengacaukan pikiran yang normal dan menurunkan kemampuan seseorang untuk melihat segala sesuatu dengan pandangan yang sehat. Seseorang pastilah akan melakukan kesalahan jika dia membuat keputusan pada saat sedang marah. Oleh karena itu, sudah seharusnyalah kita tidak membuat keputusan yang penting di kala sedang emosi. Setelah api amarah menjadi tenang kembali, barulah kita membuat keputusan. Itu pun kita tetap harus berdasarkan pikiran yang tenang dan hati-hati mengenai satu masalah yang akan diputuskan. Dengan begitu, kita dapat terhindar dari membuat keputusan yang salah. Resiko dan efek buruk yang mungkin saja ditimbulkan oleh keputusan itu pun bisa kita hindarkan. Hal yang sama juga harus kita lakukan saat menghindari sifat-sifat yang dapat memicu emosi.

            Ada pula cara lain untuk mengatasi emosi adalah dengan tangisan. Oleh karena itu, tidak seharusnya seseorang menahan air mata kemarahan. Hal inio bertujuan untuk merilekskan saraf-saraf yang tegang, dan melepaskan diri dari ketegangan. Air mata alami (bukan rekayasa) pasti akan membebaskan seseorang dari kemarahan, ketidaknyamanan emosi serta rasa sakit yang tidak nampak. Menahan air mata justru malah menambah ketegangan dan terkadang juga memperburuk kondisi kejiwaan serta perwatakan seseorang. Karena seseorang manusia mempunyai ikatan keimanan dan kepercayaan yang kuat kepada Allah. Kita harus selalu mengingatkan bahwa sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Terkait hal ini, Allah Swt berfirman sebagai berikut, “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Asy-Syarh [94]: 5-6.)

            Sungguh. Menahan kemarahan ibarat menahan seekor serigala yang buas. Banyak manusia yang gagal untuk menaklukkannya. Hanya orang-orang kuat imannya yang mampu untuk melindungi dirinya dari sifat jelek tersebut. Anehnya, banyak dari kita yang bangga menjadi orang pemarah, dan merendahkan orang yang mencintai sikap sabar. Padahal, sabar bukan berarti lemah, dan marah bukan berarti kuat.

            Semoga kita terjauh dari sikap pemarah dan menghias diri dengan sikap sabar yang kelak akan berbuah cahaya kedamaian. Amin...

capture-20130918-132810

Berapa banyak riba telah menghancurkan rumah-rumah yang sebelumnya ramai. Berapa banyak riba telah membuat orang yang kaya menjadi miskin. Berapa banyak riba telah menyebabkan pemilik menjadi orang yang dimiliki.

            Berapa banyak orang yang bergelar dan menyandang kemuliaan dan kehormatan menjadi merugi dalam kehinaan, kefakiran dan lilitan kebutuhan, padahal sebelumnya ia selalu bergelimangan kenikmatan, kemuliaan dan kemewahan.

            Riba adalah musibah yang besar, penyakit yang berbahaya, virus yang ganas, dan pembunuh yang sadis. Seseorang yang melakukan praktik riba sesungguhnya sedang berlomba-lomba menuju kepada kefakiran dan lilitan kebutuhan. Ia juga akan jatuh ke jurang musibah yang dahsyat dan kesedihan yang tiada henti.

            Tidak pelak lagi, seseorang yang sebelumnya berada dalam kelonggaran rezeki, keadaan yang baik, dan kondisi yang nikmat, lalu kemudian tiba-tiba menjadi hina, miskin, yang selalu mengeluh akan kehidupannya. Kesusahan itu baginya dirasakan lebih sempit daripada lubang jarum. Sore dan pagi selalu diliputi kesedihan dan kesusahan berkepanjangan.

            Terkait riba, Allah swt berfirman sebagai berikut, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. Jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya,” (QS Al-Baqarah: 278-279) Nabi Muhammad Saw bersabda, “Allah melaknati pemakan barang riba, barang yang dimakan dari hasil riba, pencatat transaksi riba, dan orang yang menjadi transaksi riba.”

            Lihatlah bagaimana murka Allah Swt dan Rasul-Nya itu kepada semua yang terlibat dalam riba, seperti pencatat dan saksi praktik riba, terlebih lagi pemberi dan pengambil riba. Meski demikian, terkadang masih ada saja orang yang berkata, “Apa artinya pencelaan dan ancaman dari Allah dan Rasulullah. Sedangkan kita saat ini melihat banyak pemerintahan berperadaban dan bangsa yang maju karena bertransaksi dengan cara riba dan mereka menganggap riba sebagian dari beberapa pendorong kemajuan?

            Jawaban untuk pertanyaan seperti itu adalah pemerintah dan bangsa yang menggunakan transaksi riba juga mengetahui bahayanya khamr (minuman keras) dan bahaya perzinaan. Meski begitu, mereka tetap saja melegalkan perzinaan dan meminum khamr. Padahal, keduanya jelas berakibat negatif. Begitu pula dengan riba.

            Semua kerajaan dan pemerintahan di Eropa telah membenarkan hikmah Allah Swt dalam pengharaman praktik riba. Karena mereka melihat dengan mata kepala sendiri dan menemukan bahwa harta yang disimpan di lembaga-lembaga keuangan dan perbankan, semuanya seakan-akan tak ada hasilnya dan hilang tak berbekas.

            Riba itu merusak dunia. Karena, ketika manusia membungakan uangnya dengan cara seperti ini, maka mereka akan cenderung bersantai-santai, malas, dan tidak mau bekerja. Para petani pun tidak akan meraih kesuksesan lantaran hanya mengandalkan pembayaran bunga bank. Begitu pula yang terjadi pada para pedagang dan pengusaha, karena tujuan mereka hanya terfokus pada hasil pembayaran bunga bank.

            Muhammad Abduh menuliskan tentang riba sebagai berikut, “Riba menumbuhkan sikap pada diri seseorang untuk tidak merasa perlu dengan pemberian-pemberian Allah yang diberikan kepadanya. Ia juga menyebabkan manusia malas bekerja dan tidak berusaha mencari penghidupan di bumi dengan cara berdagang, bercocok tanam, atau membuka perindustrian. Karena jika seseorang melihat bahwa dengan menyimpan uang di bank memperoleh hasil yang cukup memadai dari membungakan uangnya tanpa perlu bersusah payah, maka ia akan melakukannya. Seketika itu juga ia akan meninggalkan dunia kerja, lalu dibelenggu oleh rasa malas dan tidak mau berusaha. Dengan begitu, ia telah menjadi anggota masyarakat yang merusak lingkungan sosialnya, tidak punya pekerjaan dan tidak punya manfaat sama sekali.     Ketika riba sudah banyak tersebar dimana-mana, berarti banyak pula anggota-anggota masyarakat yang bersifat perusak di dalamnya. Setelah hal itu terjadi dalam tubuh umat, maka keropos dan hilanglah kekuatan tubuh umat.”

            Jika orang kaya mau membantu orang-orang fakir dalam urusan penghidupan mereka, tanpa ada embel-embel bunga, tentu akan dapat melunakkan hati yang sedang kacau karena masalah ekonomi serta dapat memperkuat tali cinta kasih sesama manusia. Manakala masalahnya seperti itu, keamanan akan menaungi seluruh negeri dan keberadaan semua masyarakat menjadi teratur.

            Jika orang kaya tidak memberikan hartanya pada orang-orang miskin kecuali dengan cara riba, maka sikap seperti itu akan melahirkan kedengkian dan iri hati dari orang-orang yang sedang dililit kebutuhan. Sikap yang demikian juga mengakibatkan terputusnya hal-hal yang baik. Mereka tidak akan segan merampok harta orang-orang kaya dengan segala cara yang mungkin bisa dilakukan.

Wallahu a'lam

capture-20130918-132223

Dalam hidup ini, kita tak lepas dari godaan setan yang senantiasa mengajak kita ke lembah keburukan. Sekuat apapun iman kita, ia akan selalu menggoda dengan segala cara.

            Betapa banyak di antara kita yang terkadang tak kuat menghadapi rayuan setan. Padahal kita tahu bahwa ia hanya akan membawa kita ke neraka. Sungguh. Betapa banyak orang-orang yang awalnya baik, namun berubah menjadi jahat karena pengaruh setan. Banyak orang yang pada mulanya tidak tergila-gila akan harta, tetapi begitu menjabat, ia mengkorupsi uang rakyat. Tentunya itu juga karena rayuan setan. Terkait hal ini, Allah swt berfirman sebagai berikut, “Jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-A’raf: 200)

            Memohon perlindungan kepada Allah dengan sungguh-sungguh dan penuh keyakinan, cukup untuk memelihara diri dari gangguan setan. Usaha itu juga dapat mengusir setan dalam keadaan terkutuk. Ini dikarenakan orang yang memohon perlindungan kepada Allah berarti menyandarkan diri kepada sandaran yang kuat, yaitu Allah, Tuhan semesta alam.    

            Ibnu Al-Jauzi menceritakan bahwa ada salah seorang ulama salaf bertanya kepada muridnya. “Apa yang akan kamu lakukan ketika setan menggodamu untuk melakukan kesalahan?” Sang murid menjawab, “Saya akan melawannya.” “Kalau dia kembali menggodamu?” tanya sang guru. “Saya akan melawannya lagi,” jawab sang muridnya lagi. “Kalau dia tetap kembali lagi?” tanya sang guru pula. “Saya akan melawannya lagi,” jawab sang murid. “Ah, itu akan berkepanjangan. Lalu, bagaimana pendapatmu jika sekali waktu kamu sedang melewati sekelompok kambing, sementara anjing yang menjaganya mengganggu, atau menghalangimu lewat?” kata sang guru pula. Sang murid menjawab, “Saya akan mengusirnya dan terus berusaha mengusirnya sekuat tenaga.” “Cara seperti itu terlalu sulit dan bertele-tele. sebaiknya kamu meminta pertolongan kepada pemilik kambing itu agar ia menahan anjingnya dari mengganggumu,” jawab sang guru mengakhiri perbincangan itu.

            Memohon perlindungan kepada Allah adalah tempat berlindung dan benteng bagi setiap muslim. Perlindungan itu begitu efektif kala seorang muslim merasakan adanya gangguan atau perasaan waswas yang dilancarkan setan terhadapnya. Diriwayatkan dari Abu Al-Ala bahwa setan telah menghalangi mengerjakan shalat dan mengacaukan bacaannya. Abu Al-A’la pun mengadukan hal itu pada Rasulullah saw.

            Mendengar pengaduan itu, Rasulullah berkata, “Dia itu setan yang bernama Khinzab. Kalau kamu merasakan gangguannya, maka mohonlah perlindungan kepada Allah dan meludahlah tiga kali ke sebelah kirimu.” Terkait masalah ini, Usman bin Abi Al-Ash mengatakan, “Saya pun lalu melaksanakan petunjuk Rasulullah saw tersebut. Allah lalu menghilangkan godaan setan tersebut dari diriku.” (HR Muslim).

            Diriwayatkan dari Sulaiman bin Shard yang menuturkan bahwa suatu ketika ia duduk bersama Nabi Muhammad saw dan dua orang yang duduk berdampingan. Yang seorang berwajah sangat merah. Sulaiman merasakan adanya gangguan jin yang dialami oleh lelaki itu. Menyikapi hal itu, Nabi saw berkata, “Aku tahu kalimat yang jika kamu ucapkan, maka hilanglah apa yang kamu rasakan itu. Ucapkan, ‘Aku berlindung kepada Allah dari gangguan setan yang terkutuk, niscaya hilanglah apa yang kamu rasakan itu.” (HR Al Bukhari)

            Diriwayatkan dari Anas ra yang menuturkan bahwa setiap kali Rasulullah saw masuk ke kamar kecil, beliau selalu berdoa, “Aku berlindung kepada Allah dari gangguan setan laki-laki dan setan perempuan.” (HR. Al-Bukhari).

            Diriwayatkan pula dari Abdullah bin Abi Qatadah, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Nabi Muhammad saw pernah berkata, “Mimpi yang baik itu datang dari Allah, sedangkan mimpi yang buruk itu datang dari setan. Oleh karena itu, apabila salah seorang diantara kalian bermimpi buruk yang menakutkan dirinya, maka dia sebaiknya meludah ke samping kirinya, lalu memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan mimpinya. Agar mimpi burukburuk itu tidak membahayakannya.” (HR. Al-Bukhari)

            Dalam menghadapi rayuan setan, Rasulullah telah meninggalkan warisan zikir yang sangat banyak kepada kita. Dalam satu hadis Nas bin Malik disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang berdoa saat keluar, ‘Dengan Nama Allah, aku berpasrah diri kepada Allah, tiada daya upaya dan kekuatan kecuali yang ada di sisi Allah’, maka doanya akan dijawab, ‘Sudah cukup dirimu. Kamu akan dipenuhi kebutuhanmu. Dengan doamu itu, kamu juga akan diberi petunjuk, dilindungi, dan diselamatkan dari gangguan setan.’ Setelah mendengar itu, kemudian setan berkata kepada sesamanya, “Bagaimana mungkin kamu bisa mengganggu orang yang telah diberi petunjuk, dipenuhi kebutuhannya, dan dilindungi Allah.” (HR Al-Tirmidzi dan Al-Nasa’i)

            Semoga saja kita diberi kekuatan oleh Allah swt dalam menghadapi setiap godaan yang dilancarkan oleh setan. Karena kita adalah hamba yang lemah. Hanya kepada Allah swt kita meminta pertolongan.          

Wallahu a'lam

capture-20130918-132450

Dalam hidup ini, tidak selamanya kita berkecukupan, dan ada kalanya kita pun berkekurangan. Masalah keuangan bisa menimpa siapa saja. Sesungguhnya bukan berapa jumlah uang yang kita miliki, tetapi seberapa besar kita bisa mensyukurinya. Karena, bila tidak menyadarinya, kita akan kaget dengan putaran dunia yang mungkin sewaktu-waktu menimpa kita.

            Putaran dunia tidak pernah menginformasikan kapan waktunya Allah akan mengambil harta kita dan memutar nasib kita dari yang sebelumnya berharta menjadi tak berharta, dari yang sebelumnya penuh suka cita menjadi gundah gulana.

            Cara Allah mengambil harta dan memutar nasib kita pun bermacam-macam. Ada yang akibat kesalahan kita, dan ada pula yang memang sudah menjadi garis kita. Ada dan tiada, sebenarnya bagian dari permainan hidup. Yang di bawah tidak selamanya di bawah. Begitu juga yang di atas, tidak selamanya di atas. Yang terpenting bagaimana saat di bawah kita tidak menyesali nasib, atau bila di atas kita tidak lupa daratan. Saat di bawah seharusnya kita bisa merasakan semangat hidup mereka yang sudah lama tidak berpunya. Saat di atas kita harusnya menyadari bahwa hidup tidak selalu memberi kesenangan pada kita.

            Kita mesti mawas diri dengan senantiasa bersyukur, baik pada saat di atas maupun saat di bawah. Kegagalan bermawas diri akan menjatuhkan harkat dan martabat kita. Meski tidak bisa dipastikan bahwa saat di atas akan lebih selamat daripada saat di bawah. Atau sebaliknya, saat di bawah lebih selamat daripada saat di atas. Karena, banyak juga yang saat di atas justru semakin jauh dari Allah dan hidupnya tidak berkah. Dan, banyak juga yang saat di bawah justru menyesali nasibnya lalu semakin menjauhkan dirinya dari Allah dan dari hidup yang berkah.

            Memang, kemiskinan itu lebih dekat dengan kekufuran. tetapi tetap saja kita tidak bisa menyimpulkan dengan gegabah bahwa saat berada di bawah, orang akan lebih bermasalah daripada saat di atas. Pepatah itu hanya mengindikasikan potensi untuk bermasalah yang lebih besar dipunyai orang saat berada di bawah daripada saat di atas.

            Meski demikian, akhirnya semua berpulang pada pribadi masing-masing. Ada yang justru semakin berkah hidupnya saat di bawah, tetapi ada pula yang hidupnya justru amat berkah ketika berada di atas. Faktanya, banyak orang yang mengalami masalah keuangan, tidak lebih giat berusaha di jalan yang dibenarkan oleh agama, mendekatkan diri pada Tuhannya, dan memasrahkan segenap hidupnya, termasuk memasrahkan rezekinya pada Allah. Ini yang membuat ada ungkapan, yang kaya makin kaya dan yang miskin makin miskin. Oleh karena itu, kiranya ungkapan ini hanya cocok untuk orang-orang putus asa yang tidak bisa mengubah nasibnya. Padahal, faktanya yang miskin bisa menjadi kaya dan yang kaya pun bisa menjadi miskin.

            Di zaman serba susah seperti sekarang ini, mencari orang yang mengalami masalah keuangan dan ingin mengubah nasibnya sangat mudah ditemukan. Namun, mencari orang yang mengalami masalah keuangan yang ingin mengubah nasibnya, tetapi berusaha agar iman masih tetap di dalam dadanya, bukanlah hal mudah. Padahal, hidup yang berkah itu adalah hidup yang bisa menyeimbangkan kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani.

            Semua orang pasti ingin nasibnya berubah. Hanya saja ada yang mewujudkan keinginannya itu dalam aksi nyata, tetapi ada pula yang hanya menjadikannya tetap sebagai rencana saja. Banyak cara yang dilakukan oleh orang untuk mengubah nasibnya mulai dari cara hitam, abu-abu, atau cara yang memang masih putih.

            Yang menggunakan cara hitam bisa saja dengan mencari kerja sampingan sebagai pelindung tempat judi, pergi ke dukun, melacurkan diri, menjual narkoba, menyelundupkan barang-barang ilegal, atau menipu. Yang menggunakan cara abu-abu seperti menjual barang bajakan, mengirimkan tenaga kerja ke luar negeri secara ilegal. Yang menggunakan cara putih seperti membuka usaha sablon, membuka warung kecil-kecilan sebagai sampingan dan lain sebagainya.

            Kembali ke masalah keuangan. Sesungguhnya yang sulit bukan saat ketika kita sudah terbiasa menghadapi masalah keuangan. Yang sulit justru ketika kita terbiasa berkecukupan, lalu pada suatu saat hidup memaksa kita untuk menghadapi masalah keuangan, apalagi bila masalah keuangan yang kita alami ini kronis dan pertama kali kita alami. Dalam kondisi yang demikian ini jarang sekali orang yang sanggup menghadapinya. Banyak orang yang mengalami gangguan jiwa, mendadak sakit kronis, dan berbalik haluan menjalani usaha yang haram lantaran tidak kuat dengan kondisi yang tidak biasa itu. Bahkan, ada yang meninggal dengan bunuh diri lantaran tidak sanggup menghadapi tekanan kehidupan.

            Seharusnya, seburuk apapun kondisi yang dialami, kita harus tetap percaya diri, kuat iman, dan teguh hati. Semua itu bisa didapatkan bila kita tidak mempertuhankan harta yang kita punyai, menyombongkan kekayaan yang kita miliki, dan mengagungkan kemewahan yang melekat pada kita. Inilah yang disebut zuhud sejati oleh para sufi. Karena, zuhud tanpa punya harta, bukan sesuatu yang luar biasa. Zuhud ketika berharta, itu baru luar biasa. Ini yang dibutuhkan oleh siapapun yang memiliki harta agar ketika tidak berharta, kondisi itu tidak terlalu menyesakkan dadanya.

Wallahu a'lam

capture-20130918-131923

Sudah tiga minggu Ramadhan pergi meninggalkan kita semua. Di bulan yang mulia tersebut, banyak diantara kita yang memperbaiki penampilan menjadi lebih sopan. Pergaulan sehari-hari juga kita batasi dengan alasan sedang berpuasa dan menahan nafsu. Kita memperbanyak membaca Alquran, kalau bisa khatam sekali, dua kali bahkan lebih.

            Di bulan suci itu, sedekah dan zakat tak lupa dikeluarkan. Tiap malam kita melaksanakan sholat tarawih di masjid, memperbanyak amalan sunnah dan sholat malam. Kita berlomba-lomba untuk memperbanyak amal ibadah dan mmmm memperbaiki diri karena Ramadhan adalah bulan penuh berkah dan rahmat.

            Namun, ketika Ramadhan telah pergi, apa yang terjadi? Banyak dari kita yang kembali pada kebiasaan masing-masing. Amal ibadah yang tadinya banyak, berangsur berkurang menjadi ala kadarnya. Pergaulan tidak ada batasnya. Kita jarang pergi sholat berjamaah ke masjid dengan berbagai alasan. Membaca Alquran cukup satu halaman sehari, bahkan sampai tidak ada sama sekali. Sedekah dan zakat pun kita keluarkan sekedarnya. Amalan sunnah dan sholat malam pun mulai kita tinggalkan begitu saja.

            Jika demikian adanya, puasa yang kita jalani tidak akan memberi pengaruh yang positif yaitu berupa peningkatan taqwa dan hanya menjadi kegiatan rutin setiap tahun belaka. Sehingga banyak di antara kita yang hanya menjadi orang-orang merugi, sebagaimana yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW, “Berapa banyak orang yang berpuasa, hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja.” (HR. Nasa'i dan Ibnu Majah)

            Sesungguhnya, seseorang yang dianggap sukses adalah yang bisa membawa semangat Ramadhan pada sebelas bulan yang lain, yaitu bisa mempertahankan amal saleh dan menjaga pengendalian diri seperti yang ia lakukan sewaktu menjalani bulan Ramadhan.

            Jadi, hendaknya tidak hanya di bulan Ramadhan saja kita berlomba-lomba untuk beribadah. Namun, ketika Ramadhan berlalu, kita harus tetap mempertahankan kualitas amal ibadah dan pengendalian diri kita masing-masing. Supaya Ramadhan tersebut benar-benar menjadi ajang untuk melatih diri kita menjadi manusia yang bertaqwa. Berikut, ada beberapa amalan yang harus kita pertahankan setelah Ramadhan.

            Pertama, puasa sunah. Baik itu puasa Senin Kamis, maupun puasa Syawal. Adapun puasa Syawal merupakan penyempurna puasa Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal, ia seperti berpuasa satu tahun penuh.” (HR. Muslim).

            Kedua, shalat berjamaah. Bila di bulan Ramadhan kita senantiasa melaksanakan shalat berjamaah di masjid atau mushala, setidaknya itu bisa berlanjut pada bulan-bulan berikutnya. Terlebih lagi shalat Isya dan Subuh. “Sesungguhnya, shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya dan shalat Subuh. Sekiranya mereka mengetahui apa yang terkandung di dalamnya, niscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak." (HR. Bukhari Muslim).

            Ketiga, qiyamullail. Shalat Tarawih di bulan Ramadhan merupakan bagian dari shalat malam yang harus dilanjutkan di bulan lainnya. “Rahmat Allah akan diturunkan ke bumi pada setiap malam ketika malam pada bulan Ramadhan tinggal sepertiga terakhir. Dia berkata, ‘kemana hamba-Ku yang berdoa, akan Aku kabulkan doanya. Kemanakah hamba-Ku yang meminta, Aku akan penuhi permintaannya. Kemana pula hamba-Ku yang beristigfar, Aku akan ampuni dosanya.” (HR. Bukhari Muslim).

            Keempat, membaca Alquran. Kebiasaan tadarus Alquran hendaknya senantiasa bertambah sesudah Ramadhan. “Orang yang membaca Alquran dan ia mahir (membaca dengan tartil) akan bersama para malaikat yang mulia dan taat (di akhirat). Sedangkan, seseorang membaca Alquran dan ia merasa susah dalam membacanya, tetapi ia selalu berusaha, ia akan mendapat dua pahala.” (HR. Bukhari Muslim).

            Kelima, tidak berbohong. Orang yang berkata jujur pasti akan mendapatkan kebaikan. “Sesungguhnya, berkata jujur membawa kepada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan itu membawa ke surga. Seseorang akan selalu berlaku jujur sehingga ia dicatat di sisi Allah SWT sebagai orang yang jujur. Sesungguhnya, berbohong itu membawa kepada kejahatan dan sesungguhnya kejahatan itu membawa ke neraka. Mmmmm Seseorang akan selalu berdusta sehingga ia dicatat di sisi Allah sebagai pendusta." (HR. Bukhari Muslim)

            Keenam, gemar berinfak. “Perumpamaan orang yang menginfakan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai yang pada tiap-tiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 261).

            Memang, hanya Allah SWT yang mengetahui siapa orang-orang yang sukses di bulan Ramadhan yang lalu, sehingga layak memperoleh derajat taqwa. Tulisan ini adalah muhasabah untuk kita semua. Semoga kita bisa mempertahankan semangat beramal di bulan Ramadhan yang lalu, sehingga kita bisa selalu memperbaiki diri kedepannya.

            Dan semoga Allah SWT memberi kesempatan kepada kita untuk bertemu dengan bulan Ramadhan yang akan datang. Karena usia kita berada dalam genggaman-Nya. Kita hanya mampu berdoa, semoga diberi kesempatan untuk kembali bersua dengan bulan mulia tersebut.

Wallahu a'lam