capture-20130918-131437

Ketika mendengar kata Idul Fitri, tentu dalam benak setiap orang yang ada adalah kebahagiaan dan kemenangan. Dimana pada hari itu, semua manusia merasa gembira dan senang karena telah melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh.

            Dalam Idul Fitri juga ditandai dengan adanya "mudik (pulang kampung)" yang notabene hanya ada di Indonesia. Selain itu, hari raya Idul Fitri juga kerap ditandai dengan hampir 90% orang-orang yang merayakannya memakai sesuatu yang baru, mulai dari celana baru, baju baru, sepatu baru, sepeda baru, mobil baru, atau bahkan istri baru (bagi yang baru menikah).

            Karena semuanya serba baru, bisa dimaklumi kiranya bahwa perputaran uang terbesar masyarakat kita ada pada saat Lebaran. Kalau sudah demikian, bagaimana sebenarnya makna dari hari raya Idul Fitri itu sendiri. Apakah Idul Fitri cukup ditandai dengan sesuatu yang baru, atau dengan mudik untuk bisa bersilaturrahim kepada sanak saudara dan karib kerabat?

            Idul Fitri (kembali ke fitrah), adalah suatu hari raya yang dirayakan setelah umat Islam melaksanakan ibadah puasa Ramadhan satu bulan penuh. Dinamakan Idul Fitri karena manusia pada hari itu laksana seorang bayi yang baru keluar dari dalam kandungan yang tidak mempunyai dosa dan salah.

            Idul Fitri juga diartikan dengan kembali ke fitrah (awal kejadian). Maknanya, mulai hari itu dan seterusnya, diharapkan kita semua kembali pada fitrah. Di mana pada awal kejadian, semua manusia dalam keadaan mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan. Dalam istilah sekarang ini dikenal dengan "Perjanjian Primordial" sebuah perjanjian antara manusia dengan Allah yang berisi pengakuan ke-Tuhan-an, sebagaimana yang terekam dalam surah al-A'raf (7) ayat 172, “(Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhan-mu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".

            Namun, banyak manusia dalam perjalanan hidupnya yang melupakan Allah serta telah melakukan dosa kepada Allah dan sesama manusia. Untuk itu, memahami kembali makna Idul Fitri (kembali ke fitrah) dengan membangun kembali pengabdian hanya kepada Allah adalah sebuah keharusan, sehingga kita semua dapat menjadi hamba-hamba muttaqin dan hamba yang tidak mempunyai dosa. Dosa kepada Allah terhapus dengan jalan bertaubat dan dosa kepada sesama manusia dapat terhapus dengan silaturrahim.

            Idul Fitri atau kembali ke fitrah akan sempurna tatkala terhapusnya dosa kita kepada Allah diikuti dengan terhapusnya dosa kita kepada sesama manusia. Terhapusnya dosa kepada sesama manusia dengan jalan kita memohon maaf dan memaafkan orang lain.

            Nah, dengan momentum Idul Fitri ini, mari kita jadikan sebagai sarana meminta maaf dan memaafkan orang lain dengan bersilaturrahim (menyambung kasih sayang) baik kepada suami atau istri, kedua orang tua, anak, keluarga, guru, sanak kerabat, tetangga serta teman dan relasi kita ketika ada kebencian terhadap mereka.

            Adapun kasih sayang merupakan lawan dari kebencian. Sehingga orang yang dalam dirinya ada kebencian pada orang lain, baik itu pada suami atau istri, orang tua, anak, keluarga, sanak kerabat, tetangga, teman dan relasi disebut dengan pemutus kasih sayang (Qathiul Rahim). Adapun orang yang telah memutuskan kasih sayang (Qathiul Rahim) dalam hadis shahih dijelaskan bahwa mereka ini tidak akan masuk surga.

            Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW, dari Abi Hurairah berkata: aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sungguh perbuatan Bani Adam (manusia) dilaporkan setiap Kamis malam Jum'at, maka tidak akan diterima perbuatan (baik) orang yang memutuskan kasih sayang).”

            Di samping meminta maaf dan memberi maaf, kita juga harus dan wajib sebisa mungkin menjadi pribadi pemaaf. Memberi maaf berbeda dengan pemaaf. Kalau memberi maaf itu terjadi ketika ada orang yang meminta maaf, sedang pemaaf adalah orang yang memberi maaf atas kesalahan orang lain sebelum orang tersebut meminta maaf kepadanya.

            Dengan demikian, mari kita jadikan Idul Fitri tahun ini berbeda dengan Idul Fitri di tahun-tahun sebelumnya karena kita telah memahami akan makna Idul Fitri. Dengan kita maksimalkan bersilaturahim untuk meminta maaf, memberi maaf dan menjadi seorang pemaaf. Jangan biarkan kedengkian dan kebencian merasuk kembali ke jiwa kita yang telah fitri (suci).

            Idul Fitri merupakan bentuk penghargaan (award) Allah kepada kaum muslimin. Penghargaan tersebut diberikan setelah sebulan penuh kaum Muslimin berada dalam ketaatan, kesulitan dan kekonsistenan menjalankan ibadah puasa.

            Melalui penghargaan tersebut diharapkan kaum Muslimin keluar dari rutinitas pendidikan jasmani dan rohani mendalam yang cukup melelahkan untuk keluar menuju kegembiraan dan kebahagiaan, namun tetap dalam lingkaran ketaatan dan takwa.

Wallahu a'lam

capture-20130918-131129

“Dan Rasulullah saw pun menangis. Para sahabat pun menangis. Orang-orang shaleh sampai saat ini pun menangis. Mereka seakan tak kuasa harus berpisah dengan bulan yang penuh berkah ini. 'Ya Allah, pertemukan lagi kami dengan Ramadhan selanjutnya', begitulah do'a mereka.”

            Hari demi hari terus berlalu. Dan tanpa kita sadari, bulan Ramadhan akan segera pergi. Seakan baru kemaren kita bergembira menyambutnya, tetapi tak berapa lama lagi ia akan pergi meninggalkan kita. Sebagai manusia beriman, kita tentunya teramat sedih dan cemas dengan kepergian bulan Ramadhan. Sedih karena kita akan berpisah dengan bulan yang penuh mm berkah dan cemas karena kita tidak tahu apakah ini adalah Ramadhan kita yang terakhir kalinya.

            Salah satu hal yang sangat kita khawatirkan apakah ibadah yang kita kerjakan semenjak awal Ramadhan berhasil mendapatkan pahala yang berlipat ganda atau jangan-jangan kita seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW yakni golongan orang-orang yang hanya mendapatkan lapar dan dahaga semata

            Di penghujung bulan Ramadhan ini, sudah selayaknya kita melakukan muhasabah diri. Sadarkah kita bahwa amalan kita masih sedikit? Sudahkan kita layak mendapatkan derajat taqwa atau semua itu masih jauh panggang dari api? Berapa banyak dan sebaik apakah amal ibadah yang telah kita kerjakan semenjak awal Ramadhan? Atau kita hanya bermalas-malasan seperti bulan-bulan sebelumnya.

            Di samping itu, berhasilkah mengkhatamkan kitab suci Al Quran, minimal satu kali, atau kita hanya membacanya beberapa baris saja, bahkan tidak ada sama sekali? Berapa banyak harta yang telah kita infakkan di jalan Allah SWT atau kita hanya sibuk membelanjakan harta tersebut di pusat-pusat perbelanjaan guna membeli beragam menu 'Pabukoan' dan berebut segala macam persiapan untuk kebutuhan merayakan hari raya Idul Fitri? Dan masih banyak pertanyaan lainnya yang dapat kita ajukan kepada diri kita sendiri dalam rangka bermuhasabah diri.

            Seperti yang kita ketahui, Ramadhan merupakan bulan yang penuh kerahmatan, keberkahan dan kemuliaan. Kepergiannya kini amat dirasakan dan akan ditangisi oleh seluruh umat Islam yang benar-benar menghayati dan memanfaatkan kedatangannya dengan melaksanakan berbagai ibadah, baik itu yang wajib dan ibadah sunah. Lalu bagaimana dengan kita? Apakah kita merasa kepergiannya terasa biasa-biasa saja. Atau malah bergembira karena terbebas dari kewajiban berpuasa? Jika demikian, kita sepatutnya memohon ampun pada Allah SWT.

            Sungguh, di penghujung Ramadhan, setiap muslim sewajarnya bermuhasabah dan menilai diri terhadap ibadah puasa yang dilaksanakan. Apakah ibadah yang telah dikerjakan tersebut benar-benar telah mencapai ketentuan yang ditetapkan oleh Allah SWT sehingga bisa menjadikan diri menjadi hamba yang berhasil meraih derajat nilai taqwa dan kembali kepada fitrah nan suci.

            Sebagaimana yang kita ketahui, ibadah puasa yang dilakukan dengan penuh keikhlasan, kesungguhan dan istiqamah bukan saja meningkatkan keimanan, malah ia dapat menghapuskan dosa kesalahan yang lalu. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasululullah SAW bersabda, “Siapa yang berpuasa dengan penuh keimanan serta mengharapkan pahala (hanya dariNya) maka Allah SWT akan mengampunkan segala dosanya yang telah lalu”. (HR Bukhari).

            Istiqomah dalam melakukan amal ibadah memerlukan tahap keimanan dan ketakwaan yang tinggi agar segala amal soleh dapat diteruskan hasil pendidikan Ramadhan pada bulan-bulan yang lain. Sebab, seringkali apabila kita melangkah ke bulan Syawal, ibadah semakin berkurang dibandingkan sewaktu bulan Ramadhan, terutamanya di malam hari raya Idul Fitri yang tak jarang hanya diisi dengan kegiatan-kegiatan tak berguna. Seakan bergembira ria dengan kepergian bulan Ramadhan yang sungguh mulia.

            Oleh sebab itu, marilah bersama-sama kita memanfaatkan hari-hari terakhir di bulan Ramadhan tahun ini dengan beristiqomah dalam melakukan ibadah dan amalan soleh. Tak lupa pula hendaknya diiringi dengan doa kepada Allah SWT supaya dipertemukan lagi dengan Ramadhan pada tahun depan. Sebab, tak ada yang tahu apakah kita masih hidup pada Ramadhan berikutnya. Bisa saja menjelang itu kita telah tutup usia, sehingga tak dapat lagi menikmati indahnya beribadah di bulan suci ini.

            Jika kita beristiqomah, maka Allah SWT menjanjikan tiga keistimewaan sepertimana dalam firman-Nya yang bermaksud, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka Malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih dan gembirakanlah mereka dengan syurga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. (QS. Fushilat : 30).

                        Kiranya, sebelum bulan yang mulia ini benar-benar pergi, bergegaslah untuk memperbanyak ibadah di waktu yang masih tersisa. Tetaplah bertahan dengan segala amalan yang dikerjakan sejak awal mula Ramadhan. Dan hendaklah senantiasa ditingkatkan karena di malam-malam terakhir ini terdapat malam Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Bukan seperti yang terjadi selama ini, makin ke ujung Ramadhan, semangat kita untuk beribadah kian memudar.

            Usahlah diperturutkan hawa nafsu untuk mempersiapkan hari raya Idul Fitri yang tidak pada tempatnya. Layakkah kita bergembira ria dan merasa jadi seorang pemenang, sementara amal ibadah kita hanya sekedarnya saja? Sementara kita tidak tahu apakah ini adalah Ramadhan terakhir bagi kita.

            Sungguh, Ramadhan yang tak ubahnya pemusatan latihan ini akan segera berakhir meninggalkan kita. Kita tidak tahu apakah kita termasuk golongan yang benar-benar terlatih sehingga mampu menghadapi rayuan syetan yang selalu berusaha mengajak untuk mengikuti jalannya. Kita juga tidak tahu apakah setelah Ramadhan, kita termasuk orang-orang yang tidak lagi mempertuhankan hawa nafsu dunia yang kelak hanya akan membawa kita ke jurang neraka.

            Karenanya, manfaatkanlah waktu yang tersisa dengan sebaik mungkin. Hingga tak ada penyesalan yang timbul di hati kita setelah kepergiannya. Dan semoga saja rangkaian ibadah yang telah kita lakukan selama Ramadhan berlangsung akan mampu merubah kita menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya. Amin...

Wallahua'lam

Still working on it.. Please wait patiently.. :)

capture-20130918-130415

Tersebutlah kisah seorang ulama dari kalangan Bani Israil bernama Bal'am bin Ba'ura`. Ia hidup di zaman Nabi Musa as. Di samping seorang ulama ia, juga seorang yang sangat taat dalam beribadah. Sampai-sampai ia dikaruniakan Allah swt sebuah kelebihan yaitu ia diberi tahu ismullah al-a'zham (nama Allah yang paling agung). Seseorang yang mengetahui nama ini doanya pasti akan dikabulkan oleh Allah swt.

            Suatu hari ada beberapa orang Bani Israil yang sudah lama memendam rasa benci dan permusuhan kepada Nabi Musa as, datang menemui Bal'am bin Ba'ura`. Mereka berkata, "Wahai Bal'am, gunakanlah kelebihanmu itu untuk mendoakan keburukan dan kebinasaan untuk Musa dan para pengikutnya."          

            Bal'am terkejut, "Mana mungkin aku doakan kelebihanku ini untuk mencelakakan seorang Nabi yang diutus oleh Allah swt." Tapi mereka terus membujuk dan merayu. Mereka pun menyogok Bal'am bin Ba'ura` dengan harta yang sangat melimpah untuk menundukkan idealismenya.      Bal'am akhirnya takluk. Ia pun mendoakan keburukan terhadap Nabi Musa as dan para pengikutnya dengan menggunakan ismullah al-a'zham yang diketahuinya.

            Tapi kali ini Allah swt tidak mau mengabulkan doanya, karena Bal'am telah mengikuti hawa nafsunya kepada keinginan mendapatkan harta dan menggunakan agama untuk mendapatkan kesenangan duniawi. Bal'am kemudian ditunggangi oleh setan. Ia menjadi pengikut setan yang setia. Dan kisah inilah menurut para ulama yang dimaksud di dalam firman Allah swt surat al-A'raaf ayat 175-176.

            Ternyata keulamaan dan ketaatan Bal'am bin Ba'ura` tidak berdaya di depan hawa terhadap harta dan kekayaan. Bal'am tentu bukan tokoh agama satu-satunya yang menjadi korban hawa harta dalam sejarah manusia. Ia hanyalah satu dari sekian banyak tokoh agama, ulama, kiai, buya dan sejenisnya yang akhirnya menyerah ketika berhadapan dengan keinginan untuk merubah hidup dan mengecap kesenangan duniawi yang memang menggiurkan itu.

            Kita tinggalkan sejarah masa lampau sejenak. Mari kita tukikkan pandangan ke masa ini. Tak jauh-jauh. Peristiwa itu terjadi di Ranah Minang. Bulan Februari 2013 lalu diberitakan bahwa seorang Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di wilayah Padang Pariaman tertangkap basah melakukan mesum di dalam mobil pribadinya dengan seorang siswi SMA. Ternyata posisinya sebagai Kepala KUA yang tugas utamanya adalah meresmikan hubungan lawan jenis tidak mampu menahan syahwatnya kepada seorang gadih matah.

            Sekarang kita layangkan pandangan ke ibu kota Jakarta. Di suatu pagi, dalam sebuah acara televisi swasta, terjadi dialog antara seorang juru bicara sebuah ormas Islam dengan seorang pengamat sosial. Awalnya dialog berlangsung biasa. Tapi setelah itu sang pengamat memotong pembicaraan jubir ormas Islam. Sang jubir pun emosi. Ia tak mampu mengendalikan amarahnya. Akhirnya ia ambil gelas berisi air minum di depannya lalu disiramkannya kepada sang pengamat. Peristiwa itu ditonton oleh sekian juta pemirsa di seluruh manusia Indonesia. Label sebagai aktivis Islam tidak mampu mengerem nafsu amarah sang jubir sehingga ia melakukan tindakan yang memalukan itu.

            Kenapa semua ini bisa terjadi? Kenapa keulamaan Bal'am bin Ba'ura` tidak mampu menahan nafsunya terhadap harta dan kekayaan? Kenapa posisi dan jabatan si Kepala KUA tidak berdaya menyetop syahwatnya kepada seks? Kenapa label dan merek sebagai aktivis Islam seakan tak berarti apa-apa menghadapi nafsu amarah yang ingin segera diluapkan?

            Semua itu bisa terjadi karena satu kata kunci: hawa nafsu. Baik hawa nafsu kepada harta, seks, amarah dan sebagainya. Siapapun akan dihinggapinya. Dan siapapun bisa saja menjadi korbannya. Tak peduli betapa tinggi ilmu agamanya, terhormat posisinya atau dikenal namanya oleh banyak orang. Kalau pertahanan iman dan jiwanya lemah maka ia akan ditaklukkan oleh yang namanya hawa.

            Setiap orang bisa saja mengaku sebagai orang yang bersih. Siapa saja sah-sah saja mengklaim dirinya jauh dari dosa dan kemaksiatan. Tapi pengakuan dan klaim itu butuh pada pembuktian. Lalu, bagaimana pembuktiannya? Pembuktiannya adalah ketika ia dihadapkan pada kondisi-kondisi yang nyata dan riil keseharian. Kondisi-kondisi keseharian itu akan menjadi cobaan dan ujian terhadap keimanannya. Benarkah ia seorang yang bersih dan berpribadi suci atau itu hanya sebuah klaim kosong tanpa bukti.

            Kita sering mendengar pertanyaan seperti ini: apa beda iman dengan Islam? Jawaban yang biasa kita dengar adalah iman itu sebuah keyakinan, sementara Islam adalah amal keseharian. Iman memiliki enam rukun, sementara Islam memiliki lima rukun. Tentu itu tidak salah. Tapi perbedaan yang paling penting antara iman dengan Islam adalah kalau Islam lebih bersifat warisan (saya Islam karena saya dilahirkan dalam keluarga yang muslim), sementara iman adalah pengalaman ruhani setiap individu muslim.

            Contoh sederhana untuk hal ini adalah shalat berjamaah. Sebutlah ada lima orang sedang shalat berjamaah, salah seorangnya menjadi imam. Kelima orang tersebut melakukan praktek ibadah yang sama. Mereka sama-sama berdiri, kemudian rukuk, lalu sujud, terakhir salam. Tapi apakah kondisi ruhani atau kejiwaan yang mereka rasakan selama shalat itu sama? Jelas tidak. Ada yang benar-benar menghayati bacaan demi bacaan dalam shalatnya. Sehingga tanpa terasa hatinya gemetar dan matanya mengeluarkan air. Ada yang berusaha sekuat tenaga untuk konsentrasi tapi selalu diganggu oleh pikiran-pikiran lain. Ada yang berpikiran bagaimana secepatnya selesai untuk merampungkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Bahkan ada yang shalatnya sambil bermain-main dan menghayal kemana-mana.

            Itulah beda seorang muslim dengan mukmin. Muslim itu warisan, tapi mukmin itu pengalaman. Hanya orang-orang yang pernah merasakan pengalaman ruhani dan ketenangan batinlah yang akan berhasil mengontrol dirinya dari berbagai bisikan hawa nafsu. Hanya mereka yang benar-benar menyadari nilai sebuah keimanan dan ketaatan yang akan mampu menundukkan hawa nafsunya. Oleh karenanya, ketika Allah swt menyeru manusia untuk berpuasa, Dia tidak mengatakan: Ya ayyuha alladzina aslamu... (wahai orang-orang yang telah Islam). Tapi Dia mengatakan: Ya ayyuha alladzina amanu... (wahai orang-orang yang telah beriman).

            Bagi kita yang selalu saja dikalahkan oleh hawa, ditundukkan oleh nafsu, tidak kuasa menahan berbagai keinginan, maka inilah saatnya untuk menang. Allah swt menyediakan untuk kita sarana untuk latihan. Itulah bulan Ramadhan. Ramadhan adalah bulan untuk menundukkan hawa nafsu, mengekang syahwat, mengontrol keinginan, dan membersihkan pribadi. Jangan sia-siakan kesempatan emas ini. Jadikan puasa sebagai cara untuk menundukkan hawa.

Wallahu a'lam.