Ibu, maafkan aku. “Kata-kata itu mengalir dari anak didikku, santri kelas XII yang baru saja menerima pengumuman hasil UN tahun ini. Tubuhnya berguncang menangis dalam pelukanku. Aku biarkan ia melepaskan beban hatinya, sambil kuusap kepala dan punggungnya. Dia telah membuka amplop pengumuman di samping namanya tertulis kata “Tidak Lulus”.

Bagi sekolah kaimi, tahun ini adalah tahun suka cita. Para guru, ustadz dan ustadzah yang menjadi pendidik di tingkat Madrasah Aliyah banyak meneteskan airmata haru. Betapa tidak, pencapaian sekolah kami tahun ini melejit pesat.

Pencapaian nilai santri naik hampir dua kali lipat. Itu diperoleh dengan jujur. Setelah sekolah kami menerapkan pecat di tempat bagi santri yang ketahuan mencontek dalam lima tahun terakhir. Perjuangan itu akhirnya membuahkan hasil. Tahun ini ada dua santri yang meraih peringkat pencapaian nilai UN tertinggi di Sumatera Barat. Namun, dibalik kebahagiaan itu, juga ada kesedihan. Satu orang santri kami tidak lulus.

Selesai rapat guru membahasa perihal hasil UN, aku berpikir keras. Ya Allah, bagaimanakah menyampaikan hasil ini kepada anakku? Alangkah berat baginya menerima kenyataan ini. Setelah belajar sungguh-sungguh, beribadah dengan tekun, namun ketetapan Allah SWT bagi dirinya adalah : Tidak Lulus. Aku tahu Allah Maha Adil meskipun kehidupan di sekeliling kita penuh dengan ketidakadilan.

Allah lebih tahu mana yang terbaik untuk hambaNya. Namun tetap saja ada rasa perih mengalir dalam data ketika melihat nilai yang diperoleh santriku hanya kurang 0,02 lagi untuk mencapai lulus. Terbayang betapa sunguh-sungguhnya anakku itu beribadah wajib dan sunah. Menjaga akhlak dan kesantunan. Belajar dengan tekun dan giat serta menjaga kejujuran. Namun itu ternyata belum cukup menhantarkannya mencapai kelulusan yang dinilai oleh manusia dan komputer canggih.

Sementara di sisi lain, betapa banyak pelajar seusianya pada saat UN yang baru berlangsung melakukan kecurangan. Kecurangan memperoleh kunci jawaban yang bahkan dikoordinir oleh guru mereka sendiri. Pemberian kunci jawaban dan transaksi itu konon dilakukan di WC sekolah. Tempat pembuangan bagian tubuh manusia yang paling kotor, itulah tempat transaksi dunia pendidikan Indonesia, dewasa ini. Semua kita seperti terhipnotis dengan TST, Tahu Sama Tahu. Tetapi tidak bersuara dan pura-pura tutup mata. Dadaku perih.

Para koruptor dan pengedar narkoba konon banyak tertangkap ketika bertransaksi di hotel berbintang lima. Kamar yang luks, ekslusif, wangi dan mewah. Dengan tarif semalam bahkan bisa dua kali gaji guru PNS sebulan. Tetapi dunia pendidikan melakukan transaksi yang lebih menjijikkan, yaitu di WC sekolah yang bulukan, berlumut, banyak sampah, coretan dan bau. Di situlah nilai pendidikan diusahakan kecermelangannya. Memilukan dan memalukan.

“Ibu, maafkan aku,” kata-kata itu kembali terucap di antara isak tangis anakku. Apa yang harus dimaafkan nak? Tanyaku memandangnya lekat. Ananda berbuat curang? Dia menggeleng. Apakah Ananda melakukan kesalahan besar? Dia juga menggeleng. Bagi ibu, Ananda semua lulus seratus persen. Lulus ujian kejujuran dalam kehidupan. Termasuk dirimu, Nak. Engkau telah lulus dengan baik dalam catatan malaikat dan dalam pandangan Allah.

Aku berusaha menyakinkan dirinya. “Tetapi aku gagal membuat bangga sekolah kita, Bu,” jawabnya lagi. Aku memeluknya kian erat. Dan kukatakan, “Nak, semua guru dan adik-adik kelas bangga pada dirimu dan teman-temanmu. Kalian semua adalah generasi terbaik yang pernah ada dalam sejarah panjang Indonesia. Yakinlah itu. “Kalian semua lulus sayang, termasuk dirimu. Ibu bangga padamu....

Dalam pelukanku, tangis santriku mereda. Dia mulai menghapus air matanya. Di wajahnya dan tangannya terlihat bintik-bintik hitam bekas sakit cacar yang dialaminya menjelang mengikuti Ujian Nasional. Lalu ia berbisik pelan, namun jelas terdengar di telingaku, “Ya Allah, walaupun telah berusaha beribadah dengan taat dan benar kepada-Mu, belajar dengan giat dan sungguh-sungguh karena-Mu, menjaga kejujuranku saat mengikuti Ujian Nasional karena aku tahu aku dalam pengawasanMU. Namun tetap Engkau takdirkan aku tidak lulus ya Allah, aku ikhlas menerimanya. Aku rela menerima ketentuanMu ya Rabbi, aku terima semuanya dengan lapang hati.”

Air mataku menetes tak terbendung. Kami bertangisan. Tangis bahagia, karena telah melewati satu fase terberat dalam hidup manusia, yaitu menerima ketentuan Tuhannya dengan rela dan penuh tahu diri. Subhanallah, Nak. Ibu bangga padamu. Anakku itu tersenyum, senyum tanda kesabaran.

 

You are here: Home News and Events Ibu, Maafkan Aku